Mohon tunggu...
Chandra Situmeang
Chandra Situmeang Mohon Tunggu... Dosen -

Silahkan Kunjungi :\r\nhttp://www.chandrasitumeang.com/riwayathidup.php

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rohingnya, Ujian Kita Bersama

27 November 2016   17:48 Diperbarui: 27 November 2016   18:16 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“….tetapi bukankah ketika sampai pada masalah nyawa manusia, maka semua faktor yang melatarbelakanginya menjadi sesuatu yang tidak lagi penting untuk dibahas?”

Saya sudah lama ingin menulis kekecewaan dan kesedihan saya tentang Rohingnya namun karena kerasnya arus informasi yang rentan menggilas logika berpikir sehingga saya kesulitan meyakini suatu sumber bacaan yang validitasnya mumpuni untuk mampu memahami kondisi yang sebenarnya terjadi. Dalam keterbatasan tersebut, sejauh ini saya meyakini bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan terhadap suku Rohingnya. Kesimpulan saya bukan didasarkan pada foto-foto dan berita provokatif yang sebagian tidak benar dari segi tempat kejadian, waktu, bahkan sebagian telah diedit. Kesimpulan saya berusaha dibangun diatas keutuhan silogisme dari mulai sebab hingga akibat.

Rohingnya dilatari campuran berbagai isu seperti isu kewarganegaraan yang tidak jelas, eksploitasi ekonomi di wilayah negara bagian Rakhine yang kaya sumber daya alam, perebutan pengaruh antar etnis utama di Myanmar yang didominasi entis Burma, dan agama dijadikan tombol pemicu untuk menyulut kekacauan demi kepentingan sang aktor. Saya tidak akan membahas hal tersebut karena merasa tidak memiliki kompetensi serta data yang tidak memadai. 

Saya hanya fokus pada isu kemanusiaan. Saya kecewa kepada Aung San Suu Kyi, tokoh penerima nobel perdamaian yang sekarang partainya menjadi penguasa Myanmar. Seharusnya dia dapat menggunakan pengaruhnya dan seluruh instrumen negara untuk menghentikan tragedi ini. Mengapa dia diam? Saya yakin pilihan diamnya didasari pertimbangan politis, bukan agama.

Atas dasar kemanusiaan saya juga kecewa dan merasa aneh dengan respon negara-negara tetangga Myanmar. Seharusnya negara-negera tersebut mampu merumuskan kombinasi kebijakan untuk menekan Myanmar agar menangani masalah ini dengan baik, misalnya dengan menghentikan sementara hubungan dagang dan politik, dan kebijakan lainnya. Kalau hal tersebut tidak bisa dilakukan lalu mengapa juga tidak berusaha fokus melakukan gerakan kemanusiaan? Cukup alasan untuk bertindak, bukan hanya demi kemanusiaan tetapi persamaan keyakinan mayoritas dengan etnis Rohingnya. Mengapa Thailand bahkan Malaysia, Banglades, dan Indonesia terkesan sulit menerima mereka bahkan ada yang sampai menutup perbatasannya? Banglades bahkan mengusir etnis Rohingnya yang sudah ada di negara tersebut padahal katanya akar etnis ini berasal dari Banglades.

Maaf, mungkin saya terlalu menyederhanakan politik luar negeri dan hubungan antar negara, tetapi bukankah ketika sampai pada masalah nyawa manusia, maka semua faktor yang melatarbelakanginya menjadi sesuatu yang tidak lagi penting untuk dibahas? Jika Jerman bisa membuka wilayahnya untuk pengungsi yang jauh dari negaranya, bahkan Kanselir Jerman Angela Markel nyaris kehilangan jabatan untuk mempertahankan kebijakan pengungsinya, mengapa negara-negara di sekitar Myanmar tidak dapat melakukan hal yang sama? Rohingnya menjadi ujian kita bersama. Jika gagal melewati ujian ini, maka kehormatan kita sebagai mahluk paling beradab akan tercoreng. Mengutip taglinenya bang Denny Siregar, “Etnis Rohingnya mungkin bukan saudaraku dalam iman tetapi mereka saudaraku dalam kemanusiaan”

Note
Pertama. Karena timbulnya persepsi yang membenturkan antar agama, maka bersama tulisan ini saya share surat dari beberapa organisasi agama Budha di Indonesia agar kita dapat melihat masalah ini dengan lebih sejuk.
Kedua. Penyaluran bantuan langsung ke Myanmar mekanismenya cukup sulit, sehingga bagi yang sangat ingin membantu tenaga dan finansial perlu koordinasi dengan pihak-pihak yang dapat dipercaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun