Malam itu angin bulan desember bertiup lembut mengiringi langkah gontai kaki saya yang memilih untuk meninggalkan rumah dan ayah, juga segala kenangan masa kecil saya.
***
Rambut keriting yang dulu sebahu itu kini sudah mulai agak memanjang. Tapi mata almond dengan warna abu-abu itu tidak pernah berubah. Kecil dan bersinar, terang tapi lembut. Beruntung, waktu itu saya jatuh pingsan ditangan yang tepat. Dia selalu tertawa setiap kali saya mengatakan hal itu. Bulan desember kali ini genap sudah setahun saya meninggalkan ayah dan rumah beserta kenangan masa kecil saya bersama almarhumah ibu. Dan setahun sudah saya hidup bersama Laura, si perempuan bermata almond.
“kado apa ini?” tanya Laura bingung saat saya menyodorkan bingkisan kecil berpita kuning. Tangan kurusnya meraih kado itu. Saya tersenyum lalu memeluknya. Laura terdiam, mungkin mencoba untuk menebak nebak sikap berlebihan saya.
“anniversary aku ketemu sama kamu” jawab saya singkat sambil merapikan poninya yang agak berantakan.
“ya ampun, masa iya yah?” ujarnya datar.
Tangannya mengguncang-guncangkan bingkisan kecil itu.Kemudian membukanya. Saya memberikannya kalung berliontin hati.
“terima kasih, Vena. Aku suka” ucapnya lagi.
Saya memeluknya kembali. Dipeluknya saya merasa tenang. Dipeluknya saya selalu meluapkan perasaan saya yang selama ini tak tersampaikan. Saya menaruh hati pada Laura meski saya tahu dirinya akan menikah 3 hari lagi.
***
Didepan saya telah berdiri Laura dengan kebaya brukat putih berpayet yang terlihat mewah membalut tubuh mungilnya. Rambut keritingnya digelung dengan hiasan melati segar. Mimpinya akan pernikahan sederhana bersama pria yang dicintainya sebentar lagi akan terwujud. Saya menepuk lembut bahunya. Kalung hati itu dipakainya juga. Kami berpelukan. Setelahnya dengan berbalut kebaya brukat warna biru saya mengantar Laura menuju altar pernikahan. Saya biarkan rambut panjang saya tergerai, hanya penjepit rambut dengan bentuk dandelion sebagai hiasan. Saya mendoakan kebahagiaan untuk Laura. Perempuan di cinta perempuan saya.