Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Adapun kriteria penunjukkan dan penetaan sebagai kawasan taman hutan raya:
- Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;
- Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; dan
- Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.
Kawasan taman hutan raya dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan taman hutan raya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.
Provinsi Lampung, terdapat satu Taman Hutan Raya (TAHURA) yang dikenal dengan TAHURA Wan Abdul Rachman, berjarak sekitar 15 km dari Kota Bandar Lampung. Tahura ini ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan No. 408/ KPTS-II/1993 Tanggal 10 Agustus 1993 dengan luas 22.249,31 Ha sebagai kawasan hutan untuk tujuan konservasi dan pelestarian alam.
Kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman seluas 22.249,31 Ha berdasarkan administrasi pemerintahan berada dalam wilayah kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran, dalam 7 (tujuh) Wilayah Kecamatan dan 36 desa sekitar kawasan. TAHURA Wan Abdul Rachman memiliki topografi bergelombang ringan sampai berat dan sebagian datar, di dalam kawasan terdapat 4 (empat) buah gunung yaitu : G. Rantai (1.671 m dpl), G. Pesawar (661 m dpl), G. Betung (1.240 m dpl) dan G. Tangkit Ulu Padang Ratu (1.600 m dpl).
Dengan adanya otonomi daerah telah mengubah tata kelola pemerintahan dari yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Dengan desentralisasi, posisi Pemerintah Daerah menjadi semakin sentral dalam pembangunan. Desentralisasi akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan, oleh karena itu diperlukan kebijakan pembangunan kehutanan haruslah diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan (Rural Development).
Berbanding terbalik apabila kita menengok Konservasi yang dikelola instansi pemerintah umumnya masih memakai pendekatan “pagar dan denda” (fences and fines). Dalam praksis konservasi ini masih sering didapati pelanggaran batas karena ekspansi pertanian tradisional, usaha perkebunan atau penebangan kayu. Oleh sebab itu, kini perlu pendekatan khusus dengan skema partisipasi.
Dengan semangat yang sama mengenai pentingnya menjaga keutuhan dari Tahura Wan Abdul Rachman, maka Pemerintah Daerah Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2012 tentang Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi lampung. Lahirnya Perda Tersebut menjadi cara pandang baru pada bidang konservasi sumber daya alam yang semula hanya perlindungan keanekaragaman hayati semata, kini menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial-ekonomi jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkesinambungan.
Pola partisipasi yang diterapkan melibatkan seluruh stakeholder tentu berbeda karena kebanyakan berkisar dari partisipasi fungsional sampai partisipasi interaktif. Pada konsep partisipasi fungsional, keputusan-keputasan utama sudah diambil sebelum orang setempat ikut di dalamnya. Peran penduduk lokal terbatas pada pembentukan kelompok yang diharapkan akan memenuhi tujuan-tujuan berhubungan dengan apa yang sudah ditentukan sebelumnya. Partisipasi seperti itu umumnya tidak cukup. Akibatnya, batas tahura tetap dilanggar oleh masyarakat. Masyarakat di pinggir hutan merasa sudah dipisahkan dari hutan mereka.
Karena itu, konservasi yang memakai pendekatan partisipatif terpaksa harus diperjuangkaan sedemikian rupa untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat lokal yang sudah sempat skeptik. Tetapi kalau masyarakat hanya diajak bermusyawarah secara formal tanpa ada kerjasama faktual, tentu tidak akan ada gunanya. Semakin kurang partisipatif pendekatan konservasi, semakin tinggi kebutuhan untuk pelindungan batas.
Kalau warga setempat ikut menganalisa secara bersama dan setelahnya dihasilkan sebuah rencana aksi serta pembentukan kelompok baru ataupun penguatan kelompok yang sudah ada, prosesnya disebutkan partisipasi interaktif. Karena kelompok tersebut mengambil kontrol pada keputusan lokal, para peserta kelompok itu berkeinginan untuk mempertahankan strukturnya atau pola aksi kelompok itu. Suatu komponen dari partisipasi interaktif penduduk desa kawasan adalah diikutsertakannya pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep pentani tentang pengelolaan lahan.
Kondisi kawasan Tahura Wan Abdul Rahman Register 19 saat ini cukup memperihatinkan. Hal-hal yang menjadi persoalan adalah mengenai pemukiman, konflik tapal batas, dan jual beli lahan garapan. Dengan demikian lahirnya Perda tersebut haruslah berpihak pada rakyat dan sebagai kepastian hukum terhadap hak kelola masyarakat penggarap. Akan tetapi sampai dengan saat ini mengenai operasional dari Perda No. 3 Tahun 2012 tersebut belum terealisasikan.
Kolaborasi pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang diatur dalam perda tersebut adalah pelaksanaan kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam kawasan tahura guna meningkatkan efektifitas pengelolaan tahura secara bersama-sama, sinergis dengan para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama. Dalam pelaksanaannya, dibentuk Wadah berhimpun para pihak dari unsur Pemerintah Daerah Provinsi, Masyarakat, LSM, Badan Usaha dan Perguruan Tinggi yang memiliki kepedulian Terhadap pelestarian dan Pemanfaatan Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai Tim Kolaborasi.
Tujuan dari Perda Kolaborasi ini salah satunya ialah memberikan kepastian hukum terhadap hak kelola masyarakat penggarap di Kawasan Tahura. Pemerintah Daerah sebagai regulator dan kapasitasnya sebagai Pengawas, juga berperan serta memberikan pembinaan terhadap masyarakat, pengelola, atau kelompok masyarakat pengelola serta pemegang izin yang usahanya berhubungan dengan kawasan tahura.
Dengan melihat hal yang demikian, maka diperlukan Sinergitas dari semua pihak pemangku kepentingan untuk dapat mendorong upaya percepatan operasional dari Perda ini. Dengan demikian, apa yang menjadi permasalahan di kawasan dapat tertanggulangi secara maksimal dan tepat sasaran.
Lihat juga Pasal 1 ayat 9 Perda No. 3 Tahun 2012 tentang Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi lampung.
Pasal 3 huruf C, ibid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H