Mohon tunggu...
chandra krisnawan
chandra krisnawan Mohon Tunggu... SWASTA -

pekerja logistic di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah yang Dibongkar

22 Desember 2016   11:42 Diperbarui: 22 Desember 2016   11:54 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar tahun tujuhpuluhan dia ikut dipindahkan dari tempat penampungan rehabilitasi sosial ke pemukiman di atas atas stren kali. Di sana dia tinggal serumah dengan Marsidi, lelaki yang dikenalnya di tempat penampungan. Tak lama kemudian mereka menghadap seorang kyai minta dikawinkan. Jadilah mereka suami-istri. Sah dengan beberapa orang saksi. Ketika itu usianya sekitar tigapuluhan.

Dari perkawinan itu lahir tiga orang anak. Yang pertama perempuan diberi nama Isnawati. Dua tahun kemudian lahir bayi kedua lelaki diberi nama Bima, dan lahirlah bayi ketiga perempuan diberi nama Sulistyawati satu tahun kemudian. Ketika Sulistyawati berusia lima tahun sebuah yayasan sosial menyelenggarakan kegiatan kawin massal. Mereka ikut. Pulangnya kantongi surat nikah dan amplop berisi uang.

Anak-anak mereka tumbuh dengan baik di tengah lingkungan kumuh stren kali. Waktu itu becak merupakan idola. Marsidi bekerja sebagai pengayuh becak. Ketika anak-anaknya mulai bersekolah Sunarsih turut bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya yang tinggal di kampung seberang.

Waktu berganti, anak-anak itu pun semakin dewasa. Suatu ketika datang berita dari majikannya. Pemerintah menggelar program pemutihan akta kelahiran. Sunarsih yang mendengar berita itu segera membedah celengannya. Dia berikan pada majikannya untuk membantu mengurus akte kelahiran anak-anaknya. Meski hidupnya melarat Sunarsih ingin anak-anak mereka bersekolah sampai ke jenjang yang tinggi dan memiliki surat-surat penting bagi masa depan mereka. Cukup dirinya yang merasakan pahitnya masa-masa hidup dengan latar belakang gelap di kota besar. Sunarsih tidak ingin anak-anaknya kelak berkeliaran di kota sebagai gelandangan tanpa identitas yang jelas.

Selain mengayuh becak Marsidi juga mengumpulkan rosokan yang didapat dari tong-tong sampah kota. Begitu juga Sunarsih, sepulang dari kerja selalu membawa pulang rosokan yang didapatnya sepanjang perjalanan pulang. Tidak jarang majikannya mengumpulkan kardus, kertas, atau pun botol-botol bekas untuk diberikan kepada Sunarsih. Lama-lama orang-orang di kampung seberang merasa simpatik dengan Sunarsih. Diam-diam mereka menyisihkan sampah-sampah kering untuk diberikan padanya.

Di rumah sepulang sekolah kedua anak perempuan mereka memilah-milah rosokan ke dalam jenisnya masing-masing. Kertas, botol plastik, kaleng, dan sebagainya. Sedang Bima, anak lelaki mereka, mayeng di kota dengan berbekal karung di belakang punggung di usianya yang masih muda. Yang paling sering Bima ikut berkeliling menyasar tong-tong sampah kota bersama bapaknya dengan menggunakan becak pada malam hari. Sedari kecil anak-anak itu telah diajar bekerja selain bersekolah. Kesibukan itu memisahkan anak-anak itu dari pengaruh buruk pergaulan teman-teman sebaya mereka.

Namun kebersamaan di antara mereka tidak lama. Ketika Isnawati, anak tertua, lulus sekolah tingkat atas Marsidi meninggal. Bima waktu itu masih dua tahun lagi akan lulus sekolah tingkat atas. Sedangkan Sulistyawati baru akan masuk tingkat atas tahun depan. Dengan kematian Marsidi, praktis Sunarsih harus mengurusi tiga anaknya seorang diri.

Setelah kematian suaminya Sunarsih berharap dalam waktu dekat Isnawati yang telah lulus segera kawin. Dengan begitu bebannya akan menjadi lebih ringan. Lagipula siapa tahu suami Isnawati bersedia membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Sedang untuk Bima dan Sulis, entah bagaimana caranya kedua anak itu harus melanjutkan sekolah mereka. Dia berpesan kepada anak-anaknya, “Kita adalah orang melarat, karena itu kalian harus bersekolah. Dan jangan pernah kalian berhenti bekerja dan bermalas-malasan.” Petuah tua dari ibu keramat.

Harapannya terkabul tak lama kemudian. Isnawati dilamar seorang lelaki yang rantau di kota. Dia bekerja sebagai tukang di sebuah proyek pembangunan kota. Begitu proyek selesai Isnawati diboyong ke desa. Di sana menantunya itu memiliki sawah warisan orang tuanya yang cukup luas. “Rejekinya Isnawati,” pikir Sunarsih. Ada rasa bangga tersendiri baginya menyaksikan anaknya kawin dengan lelaki dari keluarga terhormat. Meski tidak banyak, Isnawati mengirim uang setiap bulan kepada ibunya. “Untuk sekolah adik-adik,” katanya.

Selepas sekolah tingkat atas Bima bekerja di pelabuhan. Seorang guru memperkenalkan Bima kepada seorang kontraktor perkapalan. Kesukaannya di bidang teknik membuatnya cepat menguasai pekerjaannya. Dalam waktu satu tahun dia telah dipercaya memborong pekerjaan yang ada. Upah yang didapatnya sekarang cukup untuk memenuhi keperluan mereka bertiga dan biaya sekolah adiknya. Kakaknya, Isnawati, dipesan supaya mengurangi jatah kirimannya karena sekarang dia sudah bekerja. “Untuk tabungan kakak,” katanya. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang rapat memiliki pengertian yang lebih satu sama lain.

Kini Sunarsih tidak perlu lagi memungut rosokan dari tempat sampah. Cukup menjadi pembantu saja. Bima, anak lelakinya, melarangnya mencari rosokan. Tapi orang-orang yang sampai pada saat itu masih mengumpulkan sampah kering untuknya tidak ditolaknya. Sedang adiknya yang masih bersekolah diberi modal untuk membuka toko kecil di rumah. Sebab dengan memilah rosokan akan menyita waktunya untuk belajar. Perlahan tapi pasti kehidupan bergerak naik di atas stren kali itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun