Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Syarat Menikah Hanyalah Cinta

19 Maret 2022   18:22 Diperbarui: 19 Maret 2022   18:27 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, pernikahan adalah hal yang sakral. Pasangan adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa kita pilih, sehingga memilih pasangan adalah hal yang krusial. Toh untuk saya, pasangan seharusnya hanya satu seumur hidup. Kalau kawin cerai kawin cerai, apa bedanya sama anak ABG yang pacaran kemudian putus nyambung putus nyambung?

Mungkin memang karena pernikahan adalah tradisi umat beragama, makanya perdebatan pernikahan beda agama akan selalu ada. Namun yang saya yakini, seharusnya hanya cinta yang menjadi syarat terjadinya pernikahan. Mungkin bagi masyarakat sekarang ini, syarat pernikahan menjadi semakin rumit: Restu orang tua, karir, kemapanan, hingga agama. Cinta malah jadi nomor sekian atau mungkin memang tak pernah ada.

Jangan-jangan, ketiadaan cinta ini yang menyebabkan angka perceraian di Indonesia pada tahun 2021 menyentuh 447.743 kasus. Angka yang cukup fantastis, mengingat negeri kita begitu religiusnya yang seharusnya menganggap pernikahan adalah hal yang sakral. Lalu, salah siapa semua ini?

Barangkali kebanyakan dari kita tak pernah bisa menilai orang dari satu sisi saja. Saya pun meyakini bahwa setiap orang punya cerita. Namun sangat disayangkan, ternyata cukup banyak orang yang mengesampingkan cinta sebagai syarat pernikahan, dan lebih mendahulukan, sebut saja: restu orang tua hingga agama.

Benar, tulisan ini sebagai bentuk keresahan saya mengenai begitu banyaknya tanggapan mengenai pernikahan beda agama antara Ayu Kartika Dewi. Mereka menganggapnya ia akan berzina seumur hidup. Lalu yang membuatnya tak berzina adalah status agama di KTP nya? Barangkali iya, karena kita hidup di negeri seremoni, dimana nilai kita diukur pada status formal / identitas, bukan esensinya.

Ada pula yang menyebut hal ini sebagai toleransi. Saya pun tidak setuju. Toleransi pada hakikatnya hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda, bukan menormalisasi perbedaan yang dijadikan satu. Saya pahami itu. Namun melarang pernikahan hanya karena perbedaan agama bukanlah hal yang benar, setidaknya bagi saya.

Memangnya sebelum agama ada, manusia tidak saling mencintai dan beranak cucu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun