Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Anggun, Beasiswa, dan Masalah Kita

12 Juni 2021   19:28 Diperbarui: 12 Juni 2021   20:03 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Twitter diramaikan dengan postingan dari sebuah akun twitter. Akun tersebut membagikan kisah Anggun, pelajar asal Indonesia pertama yang bisa lulus dari Minerva. Konon, masuk ke Minerva ini lebih susah daripada masuk ke Harvard.

Namun postingan twitter tersebut menuai berbagai komentar (Kalau tidak mau disebut kontroversi). Alasannya adalah kalimat pembuka twit tersebut yang bertuliskan: "Alasan ekonomi BUKAN penghambat utk meraih mimpi sekolah di luar negeri". Isi tulisan ini kira-kira berlandaskan pertanyaan saya sendiri atas twit tersebut: 'Oh, benarkah?'

Sejak masuk ke dunia pendidikan formal, kita sering sekali disuguhi berbagai cerita luar biasa para pelajar yang berhasil meraih beasiswa ke luar negeri. Tujuannya tentu bagus, agar para pelajar termotivasi untuk mengejar prestasi semaksimal mungkin. Namun dengan pahit saya mengatakan: Hal semacam itu tidak untuk semua orang.

Barangkali ada sedikit cara yang baik untuk menggambarkan opini saya.

Katakanlah ada jatah penerimaan mahasiswa baru di sebuah kampus ternama dengan jatah penerimaan 100 siswa. Jumlah pendaftar adalah 1000 orang. Lalu ketika sudah dilakukan tes masuk dan terpilih 100 orang, apakah 900 lainnya lebih bodoh dan malas? Saya jamin, andaikan dari 1000 orang tersebut sama pintarnya, sama kerja-kerasnya, sama uletnya, dan sama tekunnya, mau sampai mati pun tetap hanya 100 orang yang terpilih.

Jika faktor ekonomi bukan penghambat, anggaplah semua orang berekonomi menengah ke bawah memiliki IQ yang sama, sepintar, sepandai, dan se-kerja keras Anggun. Apakah LPDP tiba-tiba akan membiayai semua orang tersebut? Apakah PTN tiba-tiba tidak akan membatasi jatah penerimaan mahasiswa baru? Sama halnya dengan contoh di atas, jatahnya pasti akan tetap sama dan yang gagal akan tetap ada. Jika semua variabel sudah disama-ratakan saja tetap akan ada yang gagal, apalagi dengan keadaan sekarang dimana ketimpangan ada dimana-mana, terutama ekonomi?

Terbayang?

Saya turut bangga dan bahagia dengan pencapaian Anggun, namun menyederhanakan bahwa ekonomi bukan penghambat untuk meraih mimpi sekolah di luar negeri juga tidaklah bijak. Ujung-ujungnya, yang dijadikan kambing hitam adalah kerja keras seseorang. 

'Jika kamu tidak sekolah keluar negeri dengan alasan ekonomi, maka kamu malas'. Pernyataan yang mengesampingkan ekonomi sebagai salah satu faktor kesuksesan seseorang dan menitikberatkan semuanya kepada faktor kerja keras sangat menyederhanakan permasalahan.

Setiap orang mulai dari titik yang berbeda dan oleh karenanya, akan selesai di titik yang berbeda pula. Barangkali memang ada segelintir orang yang memulai dari titik yang lebih rendah dan selesai di titik yang lebih tinggi, namun kebanyakan tidak.

Masalah kita, banyak sekali orang-orang sukses bermunculan di media untuk menginspirasi, namun enggan mengakui privilege yang mereka miliki sekecil apapun itu. 

Biasanya mereka akan berkata: "Gue tuh gak punya privilege apa-apa. Semua ini bergantung mindset", "Gue kaya bukan karena uang gue banyak, tapi karena mental gue kaya."

Biasanya juga ada kalimat penghibur seperti "Kalian jangan bandingin diri kalian dengan gue yang udah punya 100 juta di usia 20 tahun ini". Tunggu, maksud lo? Oh iya, biasanya sebelum mengeluarkan kalimat itu, ada template kalimat pembuka yang sering diucapkan: "Gue ngomong gini bukannya mau pamer, tapi mau sharing aja".

Orang-orang semacam ini sebenarnya cukup menggelikan. Suka tidak suka, privilege itu ada. Sekalipun buat orang yang masih keras kepala bahwa mereka sukses tanpa privilege dan hanya bermodalkan mindset, camkan bahwa mindset adalah privilege terbesar yang bisa didapatkan oleh seseorang. Potensi dalam diri seseorang nggak selalu mendapat respon baik dari lingkungannya yang akan memengaruhi mindset dan kepercayaan diri seseorang kelak.

Sebagai contoh lain, katakanlah ada orang yang sama-sama memulai mengunggah video di youtube waktu masih kecil. Dua orang tersebut mengunggah video yang sama jeleknya. Yang satu dapat pujian, yang satu dapat caci dan makian. Dalam sepuluh tahun, hasilnya tentu berbeda, pun dengan mindset dan kepercayaan dirinya. Itu baru satu faktor lingkungan. Masih ada faktor-faktor lain yang tidak bisa diprediksi, yang tentu akan membuat orang berakhir di titik yang sama sekali berbeda. Biasanya respon-respon semacam ini juga bergantung faktor ekonomi, pengetahuan, dan pendidikan orang sekitar.

Jika bisa saya rangkum seluruh opini saya di atas, satu kalimat ini mungkin bisa melakukannya: Keberuntungan itu ada.

Saya setuju dengan pernyataan yang mengatakan bahwa keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. Tapi saya juga percaya, untuk mendapatkan kesiapan itu banyak sekali faktor yang berperan, dan salah satunya adalah ekonomi.

Jadi, saya kira cukup bagi kita untuk menyederhanakan masalah, setidaknya untuk diri kita sendiri. Terima saja bahwa keadaan kita berbeda, dan jalani hidup apa adanya dengan memaksimalkan potensi diri sendiri.

Ini bukan ajakan untuk berpikir pesimis. Sebaliknya, ini ajakan semua orang untuk optimis dan yakin dengan pencapaian diri masing-masing tanpa membanding-bandingkan pencapaiannya dengan milik orang lain. 

*Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapapun, termasuk pemilik akun twitter yang menuliskan opini tersebut. Saya yakin, ini hanya permasalahan pemilihan kata sehingga konteks tidak tersampaikan dengan maksimal. Namun fakta bahwa ada orang-orang yang sering menyederhanakan masalah, tak bisa dipungkiri keberadaannya.

(Biar kayak orang bijak) Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun