Sejatinya warung Emak yang berada di balik dinding "Kampus Tercinta" itu ya menjual aneka menu makanan buat para mahasiswa. Namun seiring berjalannya waktu, aku beruntung bisa numpang jualan buku diemperannya.
Ya, cerita ini berlangsung sebelum reformasi bergulir di negeri ini. Aku sebagai salah satu mahasiswa pendatang di ibu kota, merasa beruntung memiliki hubungan yang sangat baik dengan Emak, beserta keluarganya. Aku merasakan kedekatan yang hampir seperti keluarga dengan pemilik warung yang biasa dipanggil 'Emak' oleh semua pembelinya. Memang warung Emak bukan satu-satunya yang berjualan di balik dinding kampus LA32 ini, ada beberapa warung lain yang menjual aneka minuman dan makanan dan saling berderetan posisinya.Â
Soal ngutang, rasanya hampir semua warung punya cerita yang sama apabila berjualan dengan konsumen utama kalangan mahasiswa. Terutama itu akan sering terjadi di akhir bulan, dimana para mahasiswa mengalami menipisnya persediaan uang, sebelum kiriman dari orang tua datang. Atau, bagi sebagian mahasiswa yang bekerja pun, saat itu juga dialami sebelum gajian tiba.Â
Seingatku, ada beragam cara untuk ngutang di warung Emak ini. Ada yang dicatat secara khusus di buku oleh Emak, namun ada pula yang hanya diingat-ingat saja. Dan aku termasuk yang sering ngutang tapi tidak perlu dicatat. Ini sebuah keuntungan tersendiri buatku tentunya. Ya bersyukur karena aku jarang berhutang sampai dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama.Â
Sosok Emak adalah orang yang sangat baik, ramai dalam berkomunikasi sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Mungkin karena ada kedekatan kultur sebagai sesama orang Jawa Timur sehingga hubungan kami tak sekadar memiliki kedekatan antara penjual dan pembeli. Aku menghormatinya sebagaimana layaknya menghormati orang tuaku sendiri. Bahkan, meski sekarang Emak tidak lagi berjualan, aku dan beberapa kawan sesekali masih tetap menyempatkan bersilaturahmi kerumahnya.Â
NUMPANG BERJUALAN BUKU
Cerita kebaikan Emak dengan warungnya, kiranya hampir sama dengan yang dialami oleh kebanyakan mahasiswa di negeri ini. Namun ada satu keistimewaan yang ingin kuceritakan disini. Selain sebagai tempat makan, warung Emak yang tempatnya lumayan luas, juga merupakan tempat nongkrong yang asyik bagi sebagian mahasiswa, di saat jam-jam sepi bukan jam makan mahasiswa dan pembeli lainnya.Â
Suasana nongkrong itu dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja. Bahkan tak jarang juga menjadi tempat diskusi sengit untuk kalangan mahasiswa aktivis jelang pecahnya reformasi 98 waktu itu. Â Bahkan seingatku, ada pula kawan aktivis yang diciduk di warung Emak kala itu.
Kegemaranku membaca, membuatku sering mengunjungi berbagai toko buku yang ada di ibu kota. Salah satunya yaitu toko buku Gramedia Blok M. Saat itu di Gramedia sering dijual buku-buku murah atau diskon besar-besaran, dan aku sering membeli buku-buku diskonan dengan harga murah itu, lalu kujual lagi. Berkat kedekatanku dengan Emak, awalnya aku diijinkan untuk membuka lapak di emperan warung Emak.Â
Lalu, atas kebaikannya pula aku bisa berjualan di salah satu sudut dalam ruangan warung Emak, dan bekerjasama dengan keponakan Emak yang memang sering membantu Emak berjualan. Dengan demikian aku tak selalu harus menungguinya, karena saat aku sibuk dengan aktivitas lain, Dody keponakan Emak yang akan melayani pembeli bukuku. Tentu saja aku akan membagi sebagian keuntungan hasil jualan buku itu untuknya.Â