Berbicara soal dunia pendidikan dan dunia kerja, sejatinya seperti hendak membicarakan dua lembaga pemerintah, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kementerian Tenaga Kerja, karena memang negara membebankan kepada kedua lembaga pemerintahan tersebut untuk mengelolanya. Namun, penulis disini mengajak bangsa ini untuk berani mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap institusi pemerintah mana pun. Maksudnya, anak bangsa ini harus berupaya sendiri dalam mencari keselarasan atas kedua soal ini.
Mengapa penulis menantang agar melepaskan ketergantungan dari institusi yang bernama pemerintah? Padahal amanat undang-undang jelas memerintahkan agar persoalan dunia pendidikan dan dunia kerja dipikirkan, dirumuskan, dan diimplementasikan oleh lembaga/kementerian terkait. Untuk menjawabnya, disini perlu disampaikan ilustrasi mengapa kita tidak perlu menggantungkan diri pada pemerintah.
Coba kita perhatikan orang-orang yang ada di sekitar kita, baik itu saudara, teman, tetangga, atau siapa pun yang berhasil meraup, kebanyakan karena hasil jerih payahnya sendiri atau berkat peran serta dari pemerintah? Lalu perhatikan juga, bila di sekitar rumah kita ada pedagang yang sukses, itu hasil dari kerja kerasnya atau karena hibah dari pemerintah? Atau, kita coba menengok keluar lebih jauh, misalnya anak bangsa yang diundang ke acara Kick Andy karena kesuksesannya, itu diraihnya karena keberaniannya melakukan inovasi, keberanian mengambil resiko, kejelian dalam meraih peluang, atau karena campur tangan pemerintah? Penulis yakin sebagian besar akan menjawab, karena usaha dan doa dari mereka yang menghantarkannya pada kesuksesannya.
Sekarang, kembali ke pokok persoalan, yaitu upaya untuk mencari keselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Merujuk pada ilustrasi di atas, menurut hemat penulis seyogyanya anak bangsa ini memulai dari diri masing-masing, jangan menunggu kemendiknas dan kemenakertrans untuk menelorkan sebuah rumusan grand design dari keselarasan atas keduanya. Karena, kalau boleh berseloroh, kemungkinan pimpinan kedua lembaga itu kini sedang sibuk mempersiapkan menyambut pesta demokrasi 2014 ketimbang memikirkan soal keselarasan ini.
Jadi, kunci pertama dari upaya pencarian keselarasan itu adalah lakukan sebuah evolusi kecil dalam diri anak bangsa, untuk memulai hal besar yang akan mengubah masa depan Anda. Dengan demikian, kemandirin dalam bersikap ini akan menghantarkan anak bangsa ini membuka halaman demi halaman dalam menapaki jenjang pendidikan berkelanjutan yang juga telah dicarinya sendiri. Apalagi perkembangan teknologi dewasa ini memungkinkan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh seseorang yang akan mewujudkan impiannya. Tak ada alasan lagi untuk mengatakan tak tahu apa yang harus dilakukan bila ingin "menjadi sesuatu". Kata anak sekarang, kalau tidak tahu tinggal tanya saja ke mbah google pasti jawaban dapat ditemukan.
Kunci kedua, tetapkan cita-cita secara jelas. Kini bukan jamannya lagi mengenalkan pada anak bangsa ini cita-cita seperti yang dulu kerap diidamkan oleh anak-anak bila ditanyakan ingin menjadi apa. Cita-cita telah berkembang luas, bukan sekadar menjadi presiden, tentara, dokter, pilot atau pegawai negeri saja. Kini di dunia kerja telah banyak profesi-profesi menantang dan prospektif yang perlu dikenalkan pada anak bangsa ini. Dan, bila sudah ditetapkan cita-cita yang jelas, kenalkan jalur-jalur pencapaiannya. termasuk juga bila ingin menjadi enterpreneuer pun di toko buku terdapat puluhan judul panduannya.
Kunci ketiga, pengalaman penulis beberapa kali berinteraksi dengan sekolah kejuruan, membuka pengetahuan bahwa jenjang sekolah ini cukup baik bila dijadikan pilihan anak-anak muda yang ingin segera terjun ke dunia kerja. Hanya yang perlu menjadi catatan, anak didik harus agresif dalam mendalami dunia pilihannya. Tidak lagi anak didik cukup asyik duduk di meja belajarnya, namun juga harus gesit mencari pengalaman dan pengetahuan tentang dunia yang akan menjadi tumpuan masa depannya. Pihak sekolah pun juga harus berani mengkoreksi diri dengan mengeliminir formalitas, mengubahnya dengan memacu kreativitas.
Terakhir, yang sangat penting adalah membangun jaringan. Apa pun pilihan profesi di dunia kerja, tak bisa dilepaskan dari jaringan. Untuk menciptakan jaringan, bagi bangsa Indonesia sebenarnya tak perlu kesulitan, karena sedari kecil kita telah diajarkan untuk menjaga silaturahmi. Membangun jaringan yang paling mudah bagi anak didik dapat dilakukan dengan cara membuka silaturahmi pada alumni, lalu juga dunia maya malah memudahkan kita untuk menjalinnya dengan siapa saja yang diinginkan.
Jadi, keselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja itu jatuh pada pilihan individu-individu anak bangsa ini, mau menjadi apa, lalu jalur pendidikan mana yang harus dipilihnya. Toh kita, mungkin, sering mendengar nasehat dari para senior bahwa sesungguhnya ilmu yang kita peroleh di bangku sekolah itu hanya seper sekian persen saja dari yang kita perlukan bila kelak terjun ke dunia kerja. Pesan penulis, jangan lupa pada saat sebelum menjatuhkan pilihan, agar pikiran jernih maka minumlah dulu segelas air mineral dengan didahului mengucap "basmallah".
Penulis berkesimpulan, pendidikan itu penting, namun juga tak perlu selaras-selaras amat dengan dunia kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H