Â
Kenali gaya bicara dan nada suara anda
    Pada awal-awal saya melatih di masyarakat (sebagai trainer petani PIR Trans Kelapa Sawit) saat itu saya pendamping pemula di LSM Bina Swadaya; saya begitu bersemangat dan belum berpengalaman dalam berbicara di depan kelompok warga dampingan. Secara metodologi POD saya sudah mendapatkan pelatihan selama 1 bulan penuh dari Diklat Bina Swadaya. Saya masih ingat salah satu yang diasah dalam pelatihan adalah bagaimana agar kita bisa berbicara dengan nada yang jelas dan cukup keras (bisa terdengar oleh semua peserta dalam ruangan kelas standar).
    Saya teringat suatu ketika pelatih saya memberikan penilaian bahwa suara saya cukup keras dan terdengar jelas selama praktek/latihan micro teaching pada masa pendidikan di Pusdiklat Bina Swadaya. Menariknya, ada satu orang teman, sebut Esti (bukan nama sebenarnya), yang memiliki suara halus dan lembut. Pada saat  melatih, suara Esti kurang terdengar jelas oleh peserta yang duduk di deretan belakang. Apa yang terjadi? Pelatih kami memberi umpan balik kepada Esti agar latihan berbicara setiap hari dengan nada yang keras. Berbeda dengan itu, meskipun suara saya dinilai cukup keras dan jelas, namun saya baru tersadar bahwa ternyata cara berbicara saya sangat cepat selama sessi pelatihan kepada para petani Pir Trans Kelapa Sawit yang menjadi dampingan saat kala itu. Bagaimana kesadaran itu saya peroleh? Saya tidak menyadari hal itu sampai suatu ketika ada supervisor /guru saya yang datang melihat saya saat melakukan pelatihan di lapangan. Supervisor saya, tanpa kata-kata duduk di bagian belakang, sambil memperhatikan selama pelatihan berlangsung. Seperti biasa, begitu pelatihan selelsai, pada malam harinya kami melakukan refleksi bersama untuk mengevaluasi jalannya pelatihan hari itu. Pada kesempatan itu, supervisor saya memberikan umpan balik dengan kalimat kurang lebih "mbak Chamy, mau nggak mendengarkan suara mbak Chamy saat melatih tadi?", saya jawab ke guru saya "siap pak Lim", dan beliau pun menyalakan tape recorder dan selanjutnya terdengarlah suara saya yang bernada tinggi dari awal sampai akhir sesi pelatihan. Selain itu, ritme suara saya juga cepat, kurang memberikan jeda yang cukup dari satu kalimat dengan kalimat lainnya yang saya ucapkan.  Selesai mendengarkan rekaman suara saya sendiri tersebut, seketika saya merasa capek, dan tanpa sadar saya menahan napas. Setelah itu saya tersadar betapa telah melelahkan peserta selama mendengarkan saya bicara pada sesi pelatihan yang telah saya bawakan.
    Berdasarkan pengalaman tersebut, saya mendapatkan pembelajaran cara berkomunikasi yang efektif dari supervisor dalam sebuah pelatihan. Dari umpan balik yang diberikan tersebut saya melakukan refleksi diri sendiri tentang apa kelemahan yang saya miliki dan selanjutnya saya mulai belajar tentang pentingnya intonasi dan ritme suara: kapan saatnya harus bernada keras dan kapan harus memelankan bicara saya, dan kapan harus berbicara lambat atau cepat. Di awal-awal latihan, saya mengalami sedikit kesulitan karena kebiasaan berbicara cepat dan keras. Oleh karena itu, ketrampilan komunikasi yang efektif dengan memainkan nada dan ritme suara yang jelas harus dilatih terus menerus, dengan bantuan tim pelatih. Saya juga tidak segan meminta umpan balik ke peserta dengan melakukan jeda sambal bertanya "apakah saya berbicara terlalu cepat?" atau melemparkan pertanyaan "apakah penjelasan saya mudah/dapat dipahami?", "apakah suara saya terdengar oleh bapak/ibu/teman-teman semua sampai di deret belakang?". Tips ini diberikan oleh guru saya. Ketika umpan balik yang disampaikan bahwa kita berbicara terlalu cepat, atau suara kita tidak terdengar jelas, maka kita harus segera mengubah memelankan ritme bicara kita dan atau memperjelas suara kita. Cara lain yang cukup efektif  dan tidak ada salahnyta diterapkan adalah dengan merekam suara kita sendiri. Kita bisa meminta bantuan  teman satu tim Pelath atau panitia merekam kita saat melatih dan hasilnya  kemudian kita evaluasi dan perbaiki setiap saat. Intonasi dan ritme suara selama melatih sangat penting dikuasai oleh fasilitator/pelatih agar proses fasilitasinya tidak membosankan (karena nada suaranya datar terus), atau melelahkan (karena ritme dan nada suaranya keras dan cepat terus). Â
    Kasus di atas berlaku meskipun sudah ada microphone, kita tetap perlu latihan bersuara keras dan tidak mengandalkan adanya mic. Pada kasus teman saya Esti di atas, salah satu tips yang diberikan supervisor/guru kami adalah ketika kita menyadari bahwa suara kita sulit jika dipaksakan bernada keras, maka upayakan saat melatih berdiri di tengah ruangan agar suara kita bisa menjangkau seluruh peserta. Teknik lainnya adalah gunakan metode lain selain ceramah (yang mengharuskan pelatih harus bicara lama). Intinya ketahui nada dasar suara kita, perbaiki sebisa kita, latihan mengubah intonasi, melakukan jeda dan gunakan tips-tips penyelamat dengan memilih metode fasilitasi yang dapat mengatasi kelemahan kita.
Kenali karakeristik audiens/peserta kitaÂ
    Tidak jarang kita mendapati peserta pelatihan yang memiliki karakteristik tertentu, contohnya adalah misal anak jalanan yang sulit sekali memfokuskan diri ketika pelatihan. Oleh karena itu, kita harus menggunakan cara/strategi dalam berkomunikasi dengan mereka saat ada pelatihan. Misal, mereka memiliki budaya "who's the bos" yang artinya mereka akan sangat mendengarkan siapa yang mereka anggap "boss" atau yang mereka takuti. Sejak awal sebelum pelatihan, saya akan membangun komunikasi dan mendayagunakan "boss" mereka ini (tentu setelah tahu dari hasil asesmen awal), sebagai tim partner selama melatih, misal saya minta mereka yang membagi kelompok, atau menunjuk siapa peserta anak jalanan yang harus bercerita atau berpendapat, atau meminta mereka patuh pada aturan kelas selama belajar. Dengan kata lain, ada saatnya kita yang tampil menjelaskan dan memberikan materi dan ada saatnya kapan "bos mereka" membantu memfasilasi proses diskusi atau latihan bersama. Komunikasi ini dikenal dengan metode "menggunakan peserta senior/berpengaruh sebagai media/istrumen belajar". Pengalaman ini saya peroleh saat mengembangkan program Rumah Singgah bagi Anak Jalanan dan pengembangan kapasitas bagi mereka pada saat saya bekerja di NGO dulu baik di Jakarta maupun di Ambon Maluku.
Membangun motivasi melalui kisah sukses pengusaha perempuan difable
    Teknik komunikasi efektif dalam pelatihan kadang memang tidak perlu kita yang menyampaikan sendiri, dan atau terlalu banyak teori, namun dapat diberikan oleh motivator yang telah sukses menjalankan usaha dari bawah, yang juga seorang perempuan difable. Pengalaman ini saya bangun saat mendesain pelatihan pengembangan usaha bagi bagi ibu-ibu dampingan (dari keluarga miskin) di Ciracas tahun 2001 saat saya masih bekerja di LSM. Untuk membangun dan menggugah motivasi, bisa saja kita menggunakan metode story telling, dengan arti kita membacakan kisah sukses orang lain. Namun akan sangat efektif dan menggugah ketika kita bisa menghadirkan naras umber/motivatornya langsung di tengah peserta pelatihan. Hal ini saya lakukan dalam rangka menggugah dan memotivasi ibu-ibu dampingan untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarganya melalui merintis usaha jualana/dagang makanan/produk yang memiliki peluang pasar. Agar motivasinya riel dan menarik maka saya mengundang seorang pengusaha perempuan/ibu yang sudah memiliki usaha catering dan membuat telur asin yang sukses, dan sang ibu pengusaha ini berangkat dari nol, dari keterpurukan setelah kecelakaan yang merenggut nyawa suaminya serta membuatnya terpaksa lumpuh kedua kaki. Usaha produksi telus asinnya ini sudah cukup besar karena sebagai pemasok di beberapa pasar besar dan rumah makan di Jakarta, dan juga cateringnya banyak dipesan untuk acara-acara di kantor-kantor pemerintah maupun instansi swasta. Saat ibu ini bercerita, dengan nada dan intonasi yang membuat peserta terharu menangis di awal ceritanya terpuruk, sampai kemudian membuat peserta tercekat dan berteriak "wow" karena rintisan usahanya yang sukses dan upayanya melewati masa jatuh bangun. Ini mungkin tidak dapat kita "mainkan" dengan suara kita, atau vocal kita, tapi kita bisa menghadirkan "suara dan cerita" itu di tengah peserta. Lalu apa yang kita hadirkan dari diri kita? Kita hadirkan diri kita saat mengajak peserta merefleksi bersama saat narasumber selesai menyajikan ceritanya. Dan ketika merefleksikan itu, bahasa tubuh kita, vocal kita, tentu akan terbawa oleh rasa kagum dan semangat untuk mengajak peserta untuk membangun kemauan dalam membangun usaha baru.
    Ada banyak kisah pengalaman melatih, namun intinya adalah teknik melatih itu seni, kadang tidak harus kita yang berbicara, ada kalanya kita yang memimpin namun pada karakteristk tertentu serahkan "kepemimpinan" itu pada siapa yang berpengaruh/didengar dan dituruti. Meski untuk selanjutnya, kita yang akan mengambil kendali selama pelatihan. Komunikasi dengan peserta juga membutuhkan latihan terus menerus untuk dapat menggunakan nada intonasi yang tepat, jelas, dan sesuai tujuan. Saat membangun semangat, kita harus bicara menyala-nyala, saat kita menggugah dan merefleksi kita perlu lebih tenang, teduh dan suara yang perlahan namun membuat orang fokus, dan sebagainya.