Kongres Anak Indonesia masih adakah? Lima belasan tahun yang lalu diadakan pertemuan  Kongres Anak  Indonesia, yang dihadiri oleh perwakilan anak-anak dari kategori masalah yang dihadapi seperti anak-anak jalanan, pekerja anak (anak jermal, anak pasar, pelabuhan, perkebunan, dll) , anak berkebutuhan khusus, anak yang dilacurkan, anak berprestasi, anak terlantar yang ada di Panti Asuhan, dan anak umum lainnya.Â
Mereka melakukan pembahasan isu-isu yang mereka hadapi sehari-hari di lingkungannya, dengan difasilitasi sesama mereka sendiri (peer group discussion). Kongres mereka menghasilkan petisi yang murni dari pemikiran mereka dengan bahasa pergaulan ala anak-anak. Selanjutnya dengan difasilitasi kakak-kakak pendamping dari Jaringan LSM Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) yang salah satunya adalah LSM tempat saya bekerja (Bangun Mitra Sejati), mereka diajak datang ke gedung parlemen bertemu dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membacakan petisi-petisi mereka.Â
Saya masih teringat salah satu petisi mereka meminta pemerintah melindungi mereka dari kejahatan perdagangan anak, bahaya narkoba, perlakuan kekerasan, dan permasalahan lainnya. Mereka  meminta agar orang dewasa di sekitarnya baik itu pemerintah, pejabat, guru, orang tua bisa memberi contoh yang benar kepada anak dan secara aktif melindungi serta memenuhi hak-hak mereka selaku anak yang merupakan calon generasi penerus bangsa.
Saya teringat pada momen itu, salah seorang anak korban yang dilacurkan (disingkat AYLA) bertanya pada perwakilan DPR yang hadir di ruang sidang itu "Bapak , jika anak bapak yang seusia saya disuruh melayani laki-laki tua seumuran bapak, apakah Bapak tega? Masa depan kami kelam jika negara ini tidak dapat melindungi kami dari praktek pelacuran anak.." Pertanyaan itu bagai palu godam menghentak dan semua yang hadir terdiam; Anggota Dewan, wakil KOMNAS Anak, saya maupun para kakak pendamping dari LSM Peduli Anak, tak dapat menahan diri untuk tidak  menitikkan airmata. Rasanya pilu mendengar kisah pahit anak-anak yang tidak beruntung saat itu.Â
Anak-anak yang dicekam kekejian perlakukan yang tidak sepantasnya diberikan kepada mereka, yang disebabkan gagalnya negara melindungi serta tidak adanya kebijakan/undang-undang yang bisa menjerat dan menghukum pelaku kejahatan terhadap anak.Â
Lima belas tahun lalu..kisah pahit perjuangan untuk menggoalkan RUU Perlindungan Anak melalui kerja-kerja langsung pendampingan di lapangan, melakukan penjangkauan (outreach)Â dengan mengajar anak-anak jalanan di mana pun mereka berada di sekitar Jakarta Timur, mengadvokasi pihak-pihak yang melakukan praktek mempekerjakan anak, dan menyadarkan serta mensosialisasikan Konvensi Hak-Hak Anak ke semua pihak.
Sekarang, apakah ada forum untuk anak-anak menyuarakan Hak-Hak nya, bukan sekedar jika dapat menjawab quiz akan mendapat sepeda, bukan hanya melalui pertanyaan online "two way communication", tapi seperti di negara maju, mereka punya Yang namanya Youth Center atau Konggres Anak rutin tahunan.Â
Kongres dimana mereka dapat menyuarakan untuk negeri ini, apa pesan-pesan mereka untuk pemerintah, dan pesan-pesan apa yang mau mereka sampaikan ke guru, orang tua dan sesama mereka terkait maraknya perilaku buruk membully, tawuran, dan sex bebas serta pengaruh buruk media (sinetron tidak mendidik, pornografi), ancaman narkoba, dan sebaganya.
Jika kita mau merefleksikan dan mengevaluasi sedikit terkait upaya perlindungan anak di Indoensia, maka kita perlu melihat kembali keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kemudian  perubahan dibuat dalam UU Nomor 35 Tahun 2014,  pertanyaannya setelah 20 tahun, sejauhmana itu diterapkan? Sejauhmana berdampak positif terhadap anak? Kenyataannya dari data dan fakta di lapangan, kekerasan terhadap anak masih menjadi isu di beberapa daerah/wilayah di Indonesia.Â
Salah satunya, diperoleh informasi sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A), jumlah kasus kekerasan anak baik fisik, pelecehan seksual di Lomok Barat tahun ini, dari Januari sampai Juni sebanyak 75 kasus. Jumlah kasus ini meningkat dibanding tahun lalu sebanyak 63 kasus. Dari jumlah kasus ini terbanyak perkawinan anak dan kekerasan seksual.Â
Data lainnya kekerasa terhadap anak juga masih terjadi di Kabupaten Belu NTT. Kasus kekerasan anak di Kabupaten Belu Provinsi NTT masih terus terjadi. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kabupaten Belu mencatat 40 lebih kasus kekerasan  terhadap anak, sejak Januari-Juli 2022. Kasus kekerasan terhadap anak terjadi pula di masa pandemi Covid 19, dimana salah satunya terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan merangkak naik setiap tahunnya.Â