Hi, readers…
Sebagai warga negara yang punya kekayaan alam melimpah, diskursus soal pengelolaan tambang sepertinya tidak juga berakhir. Setelah terakhir kali ramai dibicangkan soal negara memberi izin usaha pertambangan kepada organisasi masyarakat, nampaknya restu serupa juga akan menjumpai instansi lain. Yakni kampus.
Wacana perguruan tinggi diperbolehkan mengelola tambang kini semakin menguat. Berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, hingga DPR, turut memberikan tanggapan atas usulan ini. Beberapa kampus bahkan telah menyusun kriteria tertentu agar perguruan tinggi bisa memperoleh izin dalam pengelolaan tambang. Namun, di balik itu semua, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab: Apakah ini sejalan dengan hakikat pendidikan itu sendiri?
Disorientasi Pendidikan Akibat Industrialisasi Kampus
Usulan ini lahir dari kebijakan otonomi kampus yang mewajibkan perguruan tinggi mencari sumber pendapatan sendiri. Sayangnya, hal ini justru menyeret dunia pendidikan ke dalam arus industrialisasi. Kampus yang seharusnya menjadi pusat keilmuan dan pembentukan karakter malah terjebak dalam orientasi bisnis. Akibatnya, pendidikan tak lagi bertumpu pada pembangunan intelektual dan moral generasi, tetapi lebih pada bagaimana mendapatkan keuntungan materi.
Lihat saja bagaimana saat ini mahasiswa disibukkan dengan bagaimana caranya memenuhi syarat magang. Usai pembatalan terselanggaranya Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) tahun 2025 setelah berjalan hampir lima tahun lamanya, tak lantas membuat distraksi dunia industri di mata mahasiswa reda.
Mahasiswa semakin terjerembab dalam lingkaran setan tawaran magang unpaid, alias tidak dibayar. Hal ini tak lain demi memenuhi kebutuhan mata kuliah maupun tekanan pemenuhan curiculum vitae selepas lulus kelak. Keringat dan akalnya terus diperas, namun insan yang seharusnya semakin berharga berkat level intelektual yang semakin tinggi malah kian terinjak. Fenomena mengenaskan yang patut dikritik habis-habisan.Â
Belum lagi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang diberikan kebebasan finansial semakin menunjukkan wajah kapitalisasi pendidikan. Kampus kini berorientasi pada profit, bukan lagi pada mencetak generasi unggul untuk kepentingan masyarakat. Biaya pendidikan yang mahal menjadi bukti nyata bahwa akses ke perguruan tinggi semakin sulit bagi rakyat kecil. Mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu akhirnya kesulitan mengejar pendidikan tinggi karena kampus harus mencari pemasukan sendiri.
Negara Semakin Melepas Tanggung Jawab
Di balik kebijakan ini, terlihat jelas adanya disfungsi negara dalam mengemban perannya sebagai pelindung rakyat (raa'in) dan perisai (junnah). Negara seharusnya bertanggung jawab atas pemenuhan hak pendidikan rakyat dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, alih-alih memenuhi kewajibannya, negara justru memberikan peluang bagi kampus untuk masuk dalam bisnis pertambangan. Ini semakin menegaskan bahwa negara ingin lepas tangan dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada institusi pendidikan.
Padahal, tambang adalah sumber daya yang masuk dalam kategori harta milik umum. Islam menegaskan bahwa pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta. Rasulullah ï·º bersabda:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)