BPS) mendapat sorotan tajam setelah memberikan pernyataan penerapan standar hidup layak (SHL) sebesar Rp 1,02 juta per bulan. Angka ini jelas saja menimbulkan pertanyaan besar, apakah nilai tersebut mencerminkan kesejahteraan rakyat Indonesia? Benarkah standar sesuai dengan kualitas yang didapatkan? Dan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat ini?
Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (Standar Hidup Layak dalam Sistem Kapitalisme, termasuk Negeri ini
Dalam pandangan kapitalisme, kesejahteraan rakyat sering kali diukur melalui pendekatan kolektif, seperti pendapatan per kapita. Namun, metode ini memiliki kelemahan mendasar: ia menyamarkan realitas individu miskin di balik rata-rata nasional. Dengan kata lain, meskipun angka pendapatan per kapita terlihat menjanjikan, kenyataan di lapangan bisa jauh berbeda.Â
Banyak rakyat yang hidup dalam kekurangan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam kehidupan modern, biaya hidup di Indonesia terus meningkat di berbagai sektor. Mulai dari kebutuhan pokok seperti pangan, papan, hingga layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, semuanya mengalami kenaikan signifikan. Belum lagi rencana kenaikan tarif PPN yang diketok mencapai 12% pada 2025 juga diperkirakan akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, sehingga membebani rumah tangga dengan pendapatan rendah.
Bahkan, banyak usaha kecil dan menengah harus menyesuaikan harga mereka, yang dapat menurunkan daya saing di pasar dan memperburuk ketimpangan sosial. Kenaikan harga yang tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga pelaku usaha yang menghadapi biaya produksi lebih tinggi. Pada akhirnya, situasi ini dapat mengurangi daya beli masyarakat, yang merupakan pendorong utama ekonomi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sudah jelas bahwa penetapan SHL oleh BPS dengan jumlah minimal yang sejatinya belum cukup untuk menciptakan kesejahteraan individu riil menunjukkan kelemahan cara pandang kapitalisme terhadap rakyat. Sistem ini tidak menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, melainkan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak.
 Sebagai akibatnya, negara dianggap lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk mengurus rakyat dengan adil.
Islam sebagai Alternatif Solusi Kesejahteraan
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kesejahteraan rakyat sebagai tugas pokok negara. Dalam sistem ekonomi Islam, negara berfungsi sebagai raa'in atau pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap individu, bukan sekadar kelompok atau rata-rata.
Islam memiliki konsep yang komprehensif dalam mengelola sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat:
Kepemilikan Harta
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori: individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Pendapatan dari pengelolaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa diskriminasi.