Bagaiamana Seharusnya Kita Menangani Suatu Musibah ?
Memandang dari Ulama atau Sains.
OPINI - Di beberapa negara maju, impact anggota masyarakat yang memeluk keyakinan agama semakin berkurang. Mereka lebih memercayai sains dan teknologi sebagai pemberi pedoman kehidupan. Agama dikesampingkan dan mengutamakan segala bentuk dari belajar alam dan mengkolaborasikannya dengan nilai-nilai kehidupan.
Melihat pandemi yang melanda dunia saat ini misalnya, ditemukan sebuah VIRUS jenis baru dengan nama Corona Virus Disease (COVID-19) yang lebih populer dengan sebutan Corona. Pandemi ini menyebar pertama kali muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Kemudian menyebar dengan kecepatan luar biasa ke seluruh dunia, sehingga World Health Organization (WHO) menetapkannya sebagai pandemi. Ada 4 kelompok yang rentan terkena COVID-19, yaitu: orang lanjut usia, orang yang terpapar HIV/AIDS, wanita hamil, dan pengidap asma. Ini melatarbelakangi Pemerintah Republik Indonesia meneruskan himbauan WHO untuk setiap individu keluar rumah gunakan masker. Awalnya, Menteri Kesehatan mengimbau penggunaan masker hanya bagi yang mengalami kesehatan memburuk apalagi terkena gejala-gejala awal Covid-19.
Para ahli dalam bidang kesehatan menjadi refrensi utama untuk mengetahui keberadaan pandemi tersebut. Namun, hukum bagi hal-hal yang viral semua orang yang pun tidak ketinggalan membahasnya sesuai dengan perspektif keahlian yang dimilikinya hingga bisa saja mengarah kepada “mengarang”. Termasuk di antaranya kalangan ulama. Ketika wabah tersebut baru tersebar di Tiongkok, sempat ramai di perbincangkan masyarakat terkait pendapat seorang dai yang mengatakan bahwa Covid-19 merupakan tentara Allah yang dikirimkan ke Tiongkok karena menindas Muslim Uighur di beberapa waktu yang lalu.
Ketika bencana juga menimpa umat Islam di seluruh dunia, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Covid-19 ini, akhirnya orang-orang yang suka menghakimi tersebut terdiam. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran untuk tidak dengan gampang menghakimi orang lain, apalagi dengan menggunakan ayat atau hadits yang ketika disampaikan oleh ulama yang dianggap kompeten dalam bidang agama kepada orang awam sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Kontroversi pun merebak terutama di media sosial. Menjadi pertanyaan besar ketika virus itu pun tersebar ke komunitas Islam dan akhirnya menyebabkan terhentinya aktivitas umrah, shalat Jumat, dan aktivitas ibadah umat Islam lainnya yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
Para cendekiawan Islam menyikapinya beragam. Mulai dari yang sangat berhati-hati dengan menyuarakannya secara rasional dan proporsional, sampai yang emosional dengan menganggapnya sebagai bagian dari azab Allah disebabkan dosa-dosa yang diperbuat sebagian hambanya. Padahal agama juga berdimensi pribadi yang memiliki sifat sangat subyektif. Karena itu, berbagai isu yang dikaitkan dengan agama menjadi sangat sensitif dan mudah membakar emosi. Jika lepas kendali bisa sangat distruktif.
Sementara di sisi lain, menurut beberapa orang mengklaim virus corona tersebut merupakan virus buatan pemerintah Tiongkok yang disimpan di markas militer di Wuhan. Menurut mereka rencananya, virus itu akan disebarkan ke seluruh dunia demi menarik uang dari hasil penjualan vaksin yang nantinya akan dibuat. Lanjut mereka juga ada dugaan terjadi kebocoran penyimpanannya di markas militer di Wuhan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa hanya di Kota Wuhan korban pada berjatuhan seketika? Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kebocoran virus corona mencemari udara kota Wuhan dan yang sempat menghirup jatuh dan mati seketika.
Ada juga pendapat Ahli yang mengatakan virus corona Wuhan berasal dari kelelawar karena lebih dari 75% penyakit yang muncul berasal dari hewan yang dinamakan penyakit “zoonosis” dengan artian penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia. Banyak juga orang yang tidak sependapat dengan hal tersebut, akan tetapi masyarakat Indonesia pun harus waspada agar tidak menjangkiti warga karena virus cepat menyebar dari manusia ke manusia.
Dalam pandangan Islam di dalam Al-Quran memang tidak ada disebutkan larangan memakan daging kelelawar secara eksplisit. Kalaupun ada yang mengharamkan, maka sesuatu yang haram boleh dimakan atau dipergunakan sepanjang kondisi yang darurat, dalam artian memang tidak ada lagi obat yang halal dan apabila tidak dipergunakan, maka penyakitnya akan menjadi lebih parah. Penyakitnya tidak akan bisa sembuh atau bahkan berakibat menjadi mati. Tapi sepanjang masih ada obat atau alternatif yang lain, maka tidak ada rukhshoh, tidak pula ada toleransi.
Dengan kemunculan virus ini di Kota Wuhan China, banyak manusia yang mencocokologikan antara virus corona dengan Al-Quran. Padahal Agama kita ini adalah agama dalil bukan agama cocokologi “Tanpa Ilmu.” Banyak warganet di media sosial yang mengatakan bahwa virus corona tercipta pada zaman pendusta yang sudah ada sejak zaman dulu. Begitu komentar salah satu dari akun media sosial. Sadar atau tidak para penulisnya, sebenarnya telah menumpangi isu ini untuk menumpahkan kemarahannya atas perlakuan sejumlah negara terhadap ummat Islam, khususnya di negara yang penduduk Islamnya sebagai minoritas.