Siapa bilang jadi sarjana harus widusa? Dan kata siapa yang diwisuda itu sarjana? Sederhana kemudian kita maknai dua kalimat tanya yang saya ajukan di atas bila nantinya kita menempatkan makna wisuda hanya sekedar seremonial yang menggugurkan syarat pendidikan belaka, dimana seseorang dikukuhkan akibat terselesaikannya jenjang studi yang harus dijalani.
Wisuda merupakan puncak keberhasilan dalam jenjang pendidikan perguruan tinggi dengan strata tertentu, apakah itu tingkat sarjana, magister ataupun doktor. Seremonial wisuda seakan telah menjadi tradisi sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan ini. Hampir semua universitas di dunia menyelenggarakannya. Dewasa ini tak hanya perguruan tinggi saja, tingkatan pendidikan lebih rendah telah pula mengadopsi tradisi wisuda, bahkan Taman Kanak-Kanak sekalipun. Meski dengan rangkaian acara yang disesuaikan dengan pemahaman mereka. Namun serangkaian seremonial tersebut kadang tidak lebih dari tradisi pencitraaan terhadap legalitas pendidikan namun bukan pada subtasial dari pendidikan itu sendiri.
Saya pernah menulis tentang bagaimana kampus bukanlah tempat untuk mendapatkan pendidikan, bukan pula tempat belajar namun lebih dari itu merupakan sarana kita berbagi informasi dan pengetahuan. Bila kemudian kesadaran itu ada pada pihak kampus, maka sarana tersebut akan lebih berfungsi untuk memfasilitasi seseorang mendapatkan keahlian maupun pengetahuan tertentu, tetapi bukan untuk sarana mengajari mahasiswa. Pertanyaannya, bahwa seberapa hebatkah dosen yang mengajari mahasiswanya, seberapa kemampuan yang dia miliki dan seberapa besar manfaat yang mahasiswa dapatkan dari ajaran seorang dosen? Maka yang sebenarnya harus terjadi adalah transformasi pengetahuan dan fasilitasi keahlian.
Lembaga pendidikan tinggi yang biasa kita sebut sebagai universitas, merupakan lembaga yang apabila kita konstruksikan sebagai penghasil sumberdaya manusia maka secara tidak langsung universitas akan menjadi mesin pencetak yang dalam pandangan positifis ini menjadi sebuah mekanisme yang sangat kaku. Produk akan bermutu baik akibat mesin pengolahnya juga yang bermutu baik dan sebaliknya, tapi bagi saya tidak demikian, mutu pendidikan lebih dikarenakan terbentuknya kesadaran bersama antara yang mengajar dan diajar bahwa “saya belajar dari orang yang mau belajar dan saya mengajar karena saya butuh belajar” bukan sebaliknya “saya belajar karena ada yang mengajar dan orang belajar karena saya mengajar”.
Dari sinilah Kualitas sebuah institusi mulai dipertanyakan, sehingga lulusan sebuah perguruan tinggi masih terus terpasung karena kepemilikan legalitas tetapi tidak menjamin mereka memiliki keahlian untuk berkompetisi dalam situasi yang semakin global, padahal dunia pekerjaan dan usaha lebih meminta untuk berbuat daripada berwacana. Inilah yang sebenarnya harus diruntuhkan dalam sistem pendidikan tinggi kita.
Universitas sebagai sebuah institusi mestinya ditempatkan pada kolektifitas sumberdaya manusia yang masih haus belajar dan mengajar sebagaimana diatur dalam Tridharma perguruan Tinggi, Yakni mendidik, meneliti dan mengabdi. Tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa bukan diartikan dengan mengembiri mahasiswa dengan teori maupun tugas namun harus lebih pada tataran penumbuhan kesadaran dan pembentukan pengetahuan. Dosen bukan orang yang paling tahu namun dosen adalah individu yang memfasilitasi mahasiswa untuk menemukan pengetahuan yang diatur dalam sebuah disiplin ilmu, bila ini terwujud maka nilai atau kelulusan bukan lagi tolak ukur dalam pencapaian strata pendidikan. Inilah yang kemudian diadopsi oleh negara Finlandia, mereka tidak perlu memberikan peringkat pada siswanya sebab mereka semua dianggap memiliki kemampuan serta kecerdasan yang sama sebab pengajar berdiri pada titik menjembatani antara siswa dengan pengetahuan, dan yang dinilai sebaliknya bukan siswa namun pengajarnya.
Kiranya wisuda menjadi sebuah pengukuhan atas penguasaan pengetahuan, itu jauh lebih penting dari sekedar pernyataan bahwa “seseorang telah berhasil menyelesaikan masa studi dalam beberapa waktu dengan mendapat nilai dan predikat”. Indonesia membutuhkan orang yang bisa berbuat nyata bukannya orang yang beretorika, kita membangun dengan pikiran dan tenaga bukan dengan omong kosong dan sok tau. Semoga momentum wisuda yang terjadi di Universitas mana saja, kapan saja bukan lagi sekedar melegalkan seseorang terhadap strata pendidikan namun lebih daripada itu menjadi sebuah peristiwa pengakuan diri individu terhadap apa yang dia pahami dan dapatkan selama beberapa tahun sebelumnya, semoga tercerahkan.
Oleh; M. Chairul Basrun Umanailo | chairulbasrun@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H