Ada sebuah video singkat yang beberapa hari lalu muncul di beranda Facebook saya dan membuat saya terpikir akan situasi saat ini. Itu adalah video tentang cara menghancurkan suatu peradaban, disampaikan oleh Mohamed Sobhi, aktor sekaligus sutradara film dari Iran.
Dengan pembawaan diri yang santai dan terkesan tidak tergesa-gesa, ia mengatakan bahwa ada tiga cara untuk menghancurkan peradaban: Pertama, hancurkan rumah tangga; Kedua, hancurkan pendidikan; dan Ketiga, hancurkan wibawa para tokoh panutan -- misalnya para ulama.
"Untuk menghancurkan sebuah rumah tangga," katanya, "pertama-tama hancurkan peran seorang ibu; buat mereka merasa malu menjadi seorang ibu rumah tangga (biasa)".
Ketika pertama kali mendengar penuturan itu, diam-diam saya terkenang pada beberapa orang kawan (perempuan) yang bahkan sudah membayangkan akan bekerja di mana dan sebagai apa ketika mereka sedang mengisi formulir masuk perguruan tinggi. Itu bagus. Bagaimanapun, setiap orang punya keinginan; keinginan mereka adalah membantu keluarga, atau menjadi wanita karir, atau membeli ini dan itu dengan uang mereka sendiri.
Tetapi ketika akhirnya mereka menikah dan memiliki anak, mau tidak mau mereka menitipkan anak-anak mereka ke tempat penitipan anak, atau menggunakan jasa babysister, atau, yang paling praktis dan bernilai ekonomis, menitipkan anak-anak kepada orang tua. "Ini demi masa depan anakku," katanya. Maksudnya, ia bekerja demi masa depan anak-anaknya.
Saya tidak melihat kelogisan dari pernyataan itu sebab bekerja di luar rumah, bagi seorang perempuan, berarti menumpulkan naluri keibuan dalam diri mereka. Namun karena lebih mudah bagi saya mengatakan 'ya' ketimbang membantah, di samping karena faktor keadaan perlu dimasukkan, maka saya jawab; "Persis!"
Sekarang mereka punya kebiasaan baru lagi; selain menitipkan anak-anak mereka pada orang lain, mereka juga rajin membagikan artikel atau video-video singkat -- di sosial media -- tentang bagaimana cara mendidik anak, bagaimana agar anak tidak mudah sakit, atau bagaimana cara cerdas menghabiskan waktu bersama anak. Itu bagus.
Maksud saya, mengingat fisik perempuan lebih lemah ketimbang fisik laki-laki, ada baiknya bila pemerintah mulai membatasi jam kerja para perempuan, khususnya perempuan yang sudah berkeluarga. Misalnya, jika di suatu perusahaan atau instansi mewajibkan para karyawannya bekerja selama delapan jam sehari, maka mereka cukup bekerja selama empat jam saja, entah itu dari jam delapan pagi sampai jam dua belas siang, atau dari jam dua belas siang sampai jam emat sore. Saya pikir dengan jam kerja seperti itu mereka akan punya lebih banyak waktu untuk 'mendidik' anak-anak mereka di rumah. Dan, jika mereka 'berhasil' mendidik anak-anak mereka dengan panduan norma dan nilai-nilai agama yang mereka anut, maka pendidikan kita tentu akan lebih baik.
Soal bagaimana cara menghancurkan pendidikan dan para tokoh panutan, saya pikir tidak perlu kita bahas. Yang jelas, peradaban juga bermakna 'sopan santun' dan 'tata krama'.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H