Mohon tunggu...
Chairani
Chairani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Individu yang suka kucing dan Baking sebagai selfrewardnya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Timur: Pembangunan di Papua antara Kesejahteraan dan Kolonialisme Baru

19 Oktober 2024   17:35 Diperbarui: 19 Oktober 2024   18:03 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembangunan di Papua telah menjadi topik yang penuh kontroversi sejak integrasi wilayah ini ke Indonesia pada tahun 1969. Pemerintah pusat telah menjalankan berbagai program untuk meningkatkan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi di Papua. Namun, banyak kritik yang menyatakan bahwa program-program ini lebih banyak diwarnai oleh kepentingan kekuasaan dan eksploitasi sumber daya alam daripada menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua.
Dalam kajian Diskursus Kolonialistik, Pembangunan di Papua  seringkali dijalankan dengan cara yang menyerupai kolonialisme baru. Pembangunan tersebut tidak hanya terfokus pada infrastruktur fisik tetapi juga berfungsi sebagai cara pemerintah untuk memperkuat kendali politik dan ekonomi atas wilayah Papua. Kebijakan transmigrasi, misalnya, memperlihatkan bagaimana masyarakat Papua harus beradaptasi dengan masuknya penduduk dari daerah lain yang membawa nilai dan budaya berbeda, sering kali tanpa memperhatikan kearifan lokal.
Program transmigrasi ini telah mengubah komposisi demografis Papua secara drastis, menjadikan orang asli Papua minoritas di beberapa wilayah. Pendatang dari daerah lain di Indonesia sering kali mendapatkan akses lebih besar terhadap sumber daya ekonomi, sementara masyarakat asli justru terpinggirkan. Hal ini menciptakan dinamika ketidakadilan, di mana masyarakat Papua tidak hanya kehilangan kendali atas tanah mereka, tetapi juga harus menghadapi dominasi ekonomi dari pendatang.
Selain itu, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Papua, seperti tambang emas dan tembaga, menegaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai "kolonialisme baru." Kekayaan alam yang diambil dari Papua lebih banyak menguntungkan perusahaan besar dan pemerintah pusat dibandingkan dengan masyarakat setempat. Tambang Grasberg di Timika yang dikelola oleh Freeport McMoRan menjadi salah satu simbol dari bentuk eksploitasi ini. Meskipun tambang tersebut merupakan salah satu yang terbesar di dunia tapi manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal sangat minim, sementara dampak lingkungan dan sosial sangat besar.

Kesenjangan dalam Pembangunan: Perspektif Elisabeth A.
Dalam bukunya Mosaik Cenderawasih, Elisabeth A. menyoroti bahwa pembangunan di Papua sering kali berfokus pada pembangunan fisik, seperti infrastruktur, tetapi mengabaikan aspek pemberdayaan masyarakat lokal. Menurutnya, pembangunan di Papua gagal melibatkan masyarakat asli dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, sehingga menciptakan jurang antara pemerintah dan masyarakat setempat. Pembangunan yang seharusnya menguntungkan masyarakat asli Papua justru memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi.
Elisabeth menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dalam pembangunan di Papua. Program-program pembangunan yang berjalan tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat asli Papua sering kali mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini terlihat dalam berbagai program pemerintah yang lebih berfokus pada modernisasi dan integrasi nasional daripada mengakui kearifan lokal masyarakat Papua. Akibatnya, alih-alih menciptakan kesejahteraan, pembangunan di Papua sering kali memperparah ketidakadilan.
Di sisi lain, realitas ekonomi Papua dapat dilihat dari  laporan analisis kinerja keuangan Bank Pembangunan Daerah Papua selama periode 2019-2020 menunjukkan adanya beberapa indikator positif, seperti pertumbuhan aset yang melebihi target dan stabilitas finansial di tengah pandemi COVID-19. Namun, laporan ini juga mengungkap bahwa beberapa rasio keuangan, seperti Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE), masih berada dalam kondisi yang tidak sehat, sehingga mengindikasikan tantangan serius dalam sektor ekonomi di Papua. Kinerja keuangan bank yang beroperasi di Papua tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi di lapangan, terutama bagi masyarakat asli Papua yang masih menghadapi keterbatasan akses terhadap modal dan peluang ekonomi.
Meskipun ekonomi Papua tampak tumbuh secara makro, terutama dalam sektor keuangan dan perbankan, manfaatnya tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat Papua, terutama mereka yang tinggal di daerah pedalaman dan terpencil. Hal ini menambah bukti bahwa pembangunan di Papua, meskipun terlihat bergerak maju di atas kertas, belum sepenuhnya mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan semua penduduk Papua.

Pembangunan yang Eksploitatif dan Ketimpangan Sosial
Eksploitasi sumber daya alam di Papua adalah salah satu aspek yang paling menonjol dari dinamika pembangunan di wilayah ini. Tambang-tambang besar, terutama tambang emas dan tembaga, telah lama menjadi tulang punggung ekonomi nasional, namun, dampaknya bagi masyarakat lokal sangat kecil. Kekayaan yang dihasilkan dari sumber daya alam Papua lebih banyak mengalir ke pemerintah pusat dan perusahaan multinasional, sementara masyarakat Papua justru mengalami kerusakan lingkungan, hilangnya lahan, dan semakin termarjinalisasi dari pusat kekuatan ekonomi.
Proyek besar seperti tambang Grasberg di Timika menjadi simbol utama bagaimana Papua dieksploitasi untuk kepentingan nasional dan internasional, tanpa memberikan banyak manfaat bagi masyarakat asli. Situasi ini mengingatkan pada kolonialisme klasik, di mana wilayah-wilayah jajahan dieksploitasi sumber daya alamnya untuk kepentingan negara penjajah, sementara penduduk lokal hanya menjadi penonton atau bahkan korban dari proses tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan jika pembangunan di Papua, dalam bentuknya saat ini, masih jauh dari inklusif dan berkeadilan. Pembangunan yang bersifat top-down, tanpa partisipasi aktif dari masyarakat lokal, hanya akan memperdalam jurang ketidakadilan dan alienasi sosial. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah pendekatannya terhadap pembangunan di Papua, dengan lebih menekankan pada partisipasi masyarakat asli dalam perencanaan dan pelaksanaan setiap proyek pembangunan.

Papua memerlukan pendekatan pembangunan yang lebih sensitif terhadap kearifan lokal dan hak-hak masyarakat adat. Dengan melibatkan masyarakat asli dalam setiap tahap pembangunan, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperbaiki kesejahteraan sosial dan budaya masyarakat setempat.

Selain itu, eksploitasi sumber daya alam di Papua harus diimbangi dengan program-program yang memastikan bahwa masyarakat lokal menerima bagian yang adil dari hasil kekayaan alam mereka. Penggunaan dana otonomi khusus misalnya, haruslah diarahkan pada program-program yang memberdayakan masyarakat asli, baik dalam pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Hal ini penting untuk menciptakan fondasi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan bagi Papua dengan melibatkan partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun