Mohon tunggu...
Adzan Koeboe
Adzan Koeboe Mohon Tunggu... -

Alumni Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), Jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Universitas Andalas Padang. Berdomisili di Jambi. Menulis puisi dan telah dipublikasikan di beberapa media cetak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Limbah Sebuah Hukum

21 April 2011   19:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Catatan Pementasan PRET PROT)

Oleh: C. H. Yurma

Lampu pentas menyala. Terlihat properti yang terbuat dari kemasan minuman mineral ditata sedemikian rupa menjadi properti. Musik mulai terdengar. Kemudian masuk dua orang reporter meliput tempat tersebut.

Di saat reporter sedang meliput, terdengar teriakan “Jambret…jambret…”. Dua orang berlari masuk pentas dari sayap kiri pentas, lalu keluar lewat sayap kanan pentas. Tak lama kemudian, dua orang yang berlari tadi masuk kembali menangkap seorang jambret, sambil memukuli dan menyuruh jambret itu mengakui perbuatannya.

Adegan ini membuka pertunjukan ”Pret Prot” di di ruang prosenium Taman Budaya Jambi, Sabtu malam, 5 Februari 2011 Lakon dengan sutradara Titas Suwanda ini mementaskan naskah yang ditulis oleh Ilham Yusardi.

Pementasan mengisahkan tentang seorang yang terpaksa menjambret kalung emas seorang nyonya, disebabkan oleh keperluan yang mendesak dan ia menghilangkan jejak perbuatannya dengan cara menelan kalung emas tersebut.

Berlangsung dengan alur yang mengalir dan mampu menarik penonton untuk merasakan suasana yang dibangun. Mulai dari pengejaran seorang jambret oleh satuan pengaman hingga tertangkap, kemudian diproses dengan menggunakan kekerasan, hingga akhir pementasan diketahui bahwa ia memang menjambret kalung emas dan menelan agar perbuatannya tidak diketahui.

Dibantu dengan musik yang sederhana seperti menimpali bunyi degup jantung, pementasan mampu membawa penonton masuk ke dalam suasana yang menegangkan. Hanya saja, kesederhanaan musik yang dapat membangun suasana tersebut tentu mesti disesuaikan dengan jalan cerita.

Mulai dari awal pertunjukan hingga di tengah pertunjukan, musik terus terdengar dalam pola dan bentuk yang sama. Di saat sindiran-sindiran lucu muncul dalam dialog, hal ini terasa sangat menggangu karena seperti tak memberi penonton kesempatan untuk rehat sejenak dari situasi-situasi yang menegangkan.

Pentas ditata dengan sangat sederhana, dengan menggunakan kemasan minuman mineral bekas. Kemasan minuman juga dibentuk sedemikian rupa menjadi properti dan kostum. Kesederhanaan yang membawa efek, baik bagi para aktor maupun penonoton.

Sebuah keunikan tersendiri yang terlihat di saat penata kostum memilih kostum bagi aktor dengan menggunakan kemasan minuman mineral. Kostum tersebut tentu saja memiliki nilai artistik tersendiri.

Hanya saja, di saat aktor bergerak, sering terdengar bunyi yang sedikit menggangu dan mungkin ini dapat menggangu kenyamanan penonton untuk menyimak dialog. Selain itu, terlihat adanya ketidak-leluasaan aktor dalam melakukan aktifitasnya di atas pentas.

Namun, apa pun yang hadir di atas pentas, merupakan kuasa sutradara. Mungkin saja sutradara menginginkan sebuah situasi tertentu melalui apa yang dihadirkannya ke atas pentas hingga membawa efek bagi para penontonnya.

Kehadiran sebuah naskah merupakan perwakilan dari realitas kehidupan yang ada. Hingga ia menjadi sebuah bentuk pertunjukkan, tentu tak berdasarkan pada kekosongan belaka. Ia bisa saja menjadi alat kritik terhadap situasi yang ada dan tak terlepas dari pesan yang akan diantarkannya ke dalam pikiran penonton.

Melalui apa yang diceritakan dalam pertunjukan dan tata-artistik pentas, menyimbolkan adanya suatu keterkaitan antara hukum dan limbah (kemasan minuman mineral bekas). Pemaksaan bahkan kekerasan fisik terus dilakukan oleh aparat saat memproses atau mengiterogasi jambret, sebelum didapatkan sebuah pengakuan.

Suatu hal yang sangat fatal dan mengerikan jika dalam kenyataanya hukum dapat memperlakukan manusia seperti limbah atau sampah. Atau mungkin saja hukum sama berbahayanya dengan limbah yang dapat menjadi sumber penyakit bagi masyarakat yang berada di wilayah hukum itu sendiri.

Semestinya hukum mampu memperlakukan manusia sebagai manusia justru menjadi mesin penyiksa, begitu pula bagi seorang jambret yang dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Sang penegak hukum pun dengan mudah membunuh nurani sendiri demi tegaknya hukum itu sendiri. Bukankah hukuman penjara sudah cukup untuk menimbulkan efek jera bagi seseorang yang didakwa bersalah?

Jambi, 2011

Penulis adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang dan anggota Ranah Teater Padang. Saat ini berdomisili di Jambi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun