Berdasarkan catatan LBH Makassar selama tahun 2019 ini telah terjadi 111 kasus struktural dan 126 kasus non struktural dengan 237 korban dari beberapa kelompok masyarakat diantaranya adalah petani, nelayan, buruh, miskin kota, pedagang kecil, disabilitas, aktivis mahasiswa dan jurnalis serta aliran kepercayaan minoritas.
Situasi demokrasi di Sulawesi Selatan diakui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dipenghujung dekade ini mengalami kemunduran. Momentum politik baik nasional maupun lokal Sulawesi Selatan yang tidak mengedepankan komitmen penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) menimbulkan banyaknya kasus-kasus kekerasan pada warga sipil.
LBH Makassar dalam rilis catatan akhir tahunnya tak ragu mengangkat tema "Menentang Arus Balik Oligarki". Melalui Wakil Direkturnya, Andi Muhammad Fajar Akbar mengaku tahun lalu pihaknya mengangkat tema yang serupa, mengingat saat ini, khususnya pada satu dekade ini konsolidasi oligarki memang semakin memukul mundur reformasi.
Imbas kekuasaan oligarki ini tak main-main, Fajar menyebut hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola rakyat dirampas, konflik lahan rakyat vs korporasi terjadi dengan difasilitasi dengan beragam upaya kriminalisasi.
Tak hanya itu imbas oligarki juga menurut Fajar mempengaruhi kondisi penegakan hukum dan HAM di Sulawesi Selatan. Aparat kepolisian yang bertugas mengayomi dan menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) justru menjadi alat pembungkam demokrasi. Tercatat aksi demonstrasi sepanjang bulan September 2019 di Makassar justru menghadapkan aparat kepolisian dengan para demonstran. Sayang kata Fajar, Pihak Kepolisian justru melakukan tindakan yang tidak manusiawi, mengabaikan tugasnya untuk mengayomi dan mewujudkan kamtibmas.
"Kejadian itu menjadi catatan demokrasi semakin dipukul mundur oleh Oligarki ini, dalam kejadian naas itu tercatat ada 273 orang demonstran mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari aparat kepolisian, mereka ditendang, dipukul bahkan ditabrak dengan mobil taktis milik Kepolisian, pada pengunjuk rasa," ujar Fajar.
Sementara itu pada sektor pertambangan, LBH Makassar sendiri mengaku kriminalisasi menjadi jalan pintas penetrasi modal. Haidir yang menggantikan Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Makassar dalam rilis catahu 2019 mengungkap kriminalisasi warga pada sektor pertambangan di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sultra membuat 30 petani dan aktifis berhadapan dengan Polda Sultra dengan beragam tuduhan.
"Ada yang dituduh dengan pasal pidana semisal pasal 333 KUHP terkait perampasan kemerdekaan terhadap karyawan PT GKP. Bahkan dituduh menghalangi kegiatan tambang sesuai pasal 162 UU 4/2009 tentang Minerba, padahal dalam kasus Wawoni sangat jelas PT GKP dengan sengaja menerobos lahan garap tanaman jangka panjang milik warga," ungkap Haidir.
Diketahui berdasarkan catatan LBH Makassar selama tahun 2019 ini telah terjadi 111 kasus struktural dan 126 kasus non struktural dengan 237 korban dari beberapa kelompok masyarakat diantaranya adalah petani, nelayan, buruh, miskin kota, pedagang kecil, disabilitas, aktivis mahasiswa dan jurnalis serta aliran kepercayaan minoritas.
LBH Makassar Akui Pentingnya Perluasan Jaringan Advokasi