Mohon tunggu...
Chaharudin Mahkota Budi
Chaharudin Mahkota Budi Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Just simply man and not a Superman

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lembaga Sensor (Lebay) Kita

6 Desember 2013   17:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:14 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis tentang peran lembaga sensor baik di perfilman maupun di tayangan pertelevisian. Beberapa hari yang lalu ketika tidak bisa tidur terlalu awal, saya terpaksa menyetel televisi dan memindahkan channel satu ke channel lainnya. Tak diduga ada film yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, film action yang berjudul Shooter ini mengisahkan perjalanan seorang sniper jitu bekas prajurit AS yang dijebak dalam sebuah konspirasi pembunuhan presiden. Untuk sebuah fil action, Film ini tergolong film yang bagus menurut saya. Hal ini karena di film ini bukan hanya menjual adegan action saja tetapi juga memawa cerita yang cukup rumit seputar konspirasi. Akan tetapi bukan itu yang akan saya bahas, tetapi betapa hambarnya saya menyaksikan film ini dibandingkan dahulu waktu saya baru pertama menonton. Setelah mengoreksi dan meneliti apa yang kurang, ternyata saya baru sadar jika ada beberapa adegan yang dipotong dan itu cukup membingungkan karena ada loncatan yang cukup jauh antara adegan yang satu dan adegan berikutnya karena diantara kedua adegan tersebut ada adegan yang dipotong.

Hal ini bukan pertama kalinya saya rasakan. Sebelumnya, ada beberapa film yang saya saksikan di televisi juga memotong adegan yang membuat hambar film tersebut. Bahkan tidak jarang adegan yang dipotong adalah adegan penting, walaupunpada akhirnya penonton akan mengetahui juga adegan yang dipotong. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya, apakah memang harus sedetail itu film-film dikoreksi sehingga bisa mengurangi kesan penonton terhadap film tersebut? Apakah adegan-adegan yang dipotong memang sebuah adegan yang benar-benar amoral yang bisa membuat moral penonton menjadi tercemar dan rusak? Apakah begitu urgennya sampai tayangan kartun saja juga harus mengalami sensor dan pemotongan adegan?

Memangnya akan terjadi pembunuhan jika penonton menyaksikan naruto melempar suriken kearah musuhnya???

Memangnya birahi dan libido penonton akan memuncak jika menyaksikan belahan dada Tsunade atau Spongebob yang mengenakan celana dalam???

Apakah ada yang terpicu untuk membunuh jika menyaksikan adegan tembak-menembak???

Semua pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang konyol yang timbul dari kegelisahan saya ketika merasakan hasil dari sensor film dan tayangan. Sementara itu, apakah yang dihadirkan televisi hari ini? Ya, jawabnya sama seperti kemarin dan mungkin besok. Televisi masih menghadirkan tayangan yang kurang mendidik, mengumbar aib public figur, mempertontonkan kehidupan hedonis para aktor dan aktrisnya, memberi sajian acara yang hanya berkesan hura-hura yang katanya komedi padahal sama sekali tidak lucu. Lalu, dimanakah lembaga sensor pada saat itu? Kenapa lembaga sensor lebih memilih menyensor puntung rokok di film bahkan kartun daripada menyensor berita perselingkuhan dan berita kekerasan? Kenapa belahan dada lebih banyak disensor sementara adegan dan pemberitaan artis yang bergonta-ganti pasangan dan pacar begitu mudah kita jumpai setiap hari di televisi? Kenapa adegan tembak-tembakan dan berkelahi disensor sementara kabarnya akan disiarkan pertandingan tinju antara seorang anak musisi vs seorang pengacara? Lebih ironisnya, pertandingan tersebut telah mendapat ijin dari otoritas yang berwenang.

Hal ini tidak lain karena lembaga sensor kita hanya menganggap hal-hal yang terlihat yang dianggap buruk sebagai sesuatu yang harus dipotong dan dihilangkan. Sementara sebenarnya yang lebih mempengaruhi penonton adalah sesuatu atau makna yang tidak terlihat yang terkandung dalam gambaran visual yang terlihat. Lembaga sensor pasti akan menyensor adegan ciuman di film ataupun tayangan televisi, hal ini dianggap sesuatu yang amoral. Tetapi dengan diumbarnya adegan artis yang pacaran dan candaan-candaan vulgarakan membuat muda-mudi bisa ciuman tanpa harus mempelajari secara visual. Lembaga sensor akan menghilangkan adegan berkelahi dan tembak-menembak, tetapi dengan gencarnya pemberitaan anarkisme ormas dan berita pertandingan tinju pengacara melawan remaja akan membuat pemuda bisa tawuran tanpa harus mempelajari adegan. Lembaga sensor bisa saja memburamkan belahan dada tokoh kartun, menyensor celana dalam spongebob dan menghilangkan adegan wanita berbikini, namun selama film horor esek-esek terus eksis di bioskop tanah air, maka masyarakat tidak membutuhkan belahan dada tokoh kartun untuk melakukan tindakan pelecehan seksual di angkutan umum, pencabulan di kampung, pemerkosaan di angkot bahkan kekerasan seksual.

Badan sensor harusnya lebih mengerti bahwa hal-hal semacam itu lebih berpengaruh bagi masyarakat daripada sekadar adegan-adegan di film. Memang, film perlu di filter apalagi yang berasal dari luar negeri. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika filter itu terlalu ketat sampai-sampai harus menghilangkan adegan yang biasa-biasa saja dan mengurangi makna film sehingga penonton kurang bisa menerima cerita film atau tayangan televisi. Sementara, adegan-adegan dan tayangan-tayangan yang tidak mendidik terus ditayangkan setiap hari tanpa henti. Candaan-candaan dan joke-joke yang vulgar dan tidak mendidik bisa kita saksikan setiap hari, dan itu rawan mempengaruhi pemirsa.

Oleh karenanya, sudah saatnya kita sama-sama cerdas, sebagai pihak yang berwenang menyensor adegan seharusnya tidak perlu berlebihan dalam menghilangkan adegan sehingga esensi dari sebuah tayangan kurang bisa didapat. Selain itu, kita sebagai penonton juga harus cerdas dalam memilih tontonan. Adegan-adegan yang tidak senonoh dan tayangan yang kurang mendidik dibumbui dengan lawakan yang vulgar selalu hidup di masyarakat karena masyarakat sendiri suka akan hal itu. Jadi, jadikan diri kita sebagai filter, kita harus mampu memilih mana yang baik untuk kita konsumsi. Selain itu lembaga sensor harus bisa menjaga makna yang disampaikan film dengan segala bentuk sensornya, bukannya malah memasung kreativitas sineas-sineas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun