Pada akhir bulan April, Wang Shouwen, perwakilan negosiasi perdagangan internasional Departemen Perdagangan Pemerintah Tiongkok dan Wakil Menteri, menyatakan bahwa Tiongkok memiliki keinginan politik untuk bergabung dengan "Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik Komprehensif dan Progresif" (CPTPP). Sudah pada bulan September 2021, Tiongkok secara resmi meminta untuk bergabung dengan CPTPP. Pada bulan Maret tahun ini, setelah Inggris berhasil mengajukan permohonan untuk bergabung dengan CPTPP, ada anggota Partai Konservatif yang mengusulkan bahwa Inggris harus memanfaatkan posisinya sebagai negara anggota CPTPP untuk menentang dan menghambat permohonan Tiongkok untuk bergabung dengan CPTPP.
Peristiwa 'decoupling' negara G-7, seperti keputusan Inggris untuk Brexit pada tahun 2016, perang dagang dan teknologi AS terhadap Tiongkok sejak tahun 2018, serta upaya Inggris, Amerika, dan negara G-7 lainnya untuk 'decoupling' energi dengan Rusia sejak tahun 2022, telah membawa perubahan mendalam namun tak terduga pada ekonomi global. Jadi, siapakah pemenang sebenarnya dalam tren 'decoupling' negara G-7 ini? Apa dampak tak terduga pada ekonomi global? Apa pelajaran untuk dunia multipolar di masa depan? Artikel ini akan membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
1. Sanksi Meningkatkan Ekspor Energi Rusia ke Asia yang Kemudian Dialihkan ke Eropa
Pada pertengahan bulan April, lembaga pemikir Finlandia, "Centre for Research on Energy and Clean Air", merilis laporan penelitian yang menunjukkan bahwa selama satu tahun sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada bulan Februari tahun lalu, Uni Eropa, sebagian besar negara G7, dan Australia telah melarang atau membatasi impor minyak mentah dan produk minyak dari Rusia.Â
Selama setahun terakhir, negara-negara yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia ini telah meningkatkan impor produk minyak dari negara ketiga, dan penelitian menemukan bahwa negara ketiga utama adalah Tiongkok (peningkatan 3,6 juta ton; peningkatan 94%), India (peningkatan 300.000 ton; peningkatan 2%), Turki (peningkatan 1,8 juta ton; peningkatan 43%), Uni Emirat Arab (peningkatan 2,6 juta ton; peningkatan 23%), dan Singapura (peningkatan 1,8 juta ton; peningkatan 33%).
Pada tahun pertama sejak perang Rusia-Ukraina meletus, negara-negara yang memberlakukan sanksi telah meningkatkan impor sekitar 10 juta ton (peningkatan 26%), senilai 18,7 miliar euro produk minyak dari lima negara ketiga ini. Namun, ini 80% lebih mahal dibandingkan dengan nilai impor langsung dari Rusia pada tahun sebelumnya. Dan negara-negara Uni Eropa mengambil bagian besar dari volume produk minyak yang diimpor dari negara ketiga ini, dengan total 17,7 miliar euro.
Karena Rusia telah meningkatkan ekspor minyak mentah yang dijual murah ke negara-negara importir di luar negeri, kelompok negara ketiga ini dapat membeli lebih banyak minyak mentah Rusia dengan harga murah, memurnikannya, dan kemudian menjualnya ke Eropa dan negara-negara lain yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia untuk mendapatkan keuntungan. Ini bisa menjelaskan mengapa, meski disanksi oleh Barat, ekspor minyak Rusia tetap bertambah dan tidak berkurang.Â
Beberapa laporan menemukan bahwa perusahaan minyak milik negara dan pabrik pemurnian milik swasta di Tiongkok telah terus meningkatkan impor minyak mentah Rusia dengan harga murah sejak Maret tahun lalu, memurnikannya, dan kemudian menjualnya ke luar negeri.
Sehingga, 'decoupling' energi Barat dengan Rusia tidak hanya meningkatkan ekspor minyak Rusia, tapi dampak yang tak terduga adalah: sanksi terhadap Rusia malah memberikan keuntungan bagi negara ketiga seperti Tiongkok, India, Turki, Uni Emirat Arab, dan Singapura yang dapat memanfaatkan pemurnian dan re-ekspor minyak.
2. 'Decoupling' AS-Tiongkok Juga Memberi Keuntungan bagi Negara Ketiga