[caption caption="Chaerol Reizal"]Oleh: Chaerol Riezal*
Sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah, saya turut prihatin atas penulisan sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Ternyata apa yang disebut sebagai Perang Aceh masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Ya benar, saya kasihan dengan Rakyat Aceh. Meskipun waktu itu Kerajaan Aceh Darussalam tidak pernah memulai perang, tapi perang ini malah disebut sebagai Perang Aceh. (Mungkin) karena kebanyakan orang menganggap perang ini terjadi di Aceh, makanya disebutlah sebagai Perang Aceh.
Bahkan, ketika Aceh tidak pernah takluk dengan Belanda, kebanyakan orang masih saja menyebut Perang Aceh: sebuah perang yang terlama dan memakan biaya perang yang begitu banyak. Kemudian ketika Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia tampil dalam perang itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan SK untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional atas dedikasi mereka dalam perjuangan mengusir penjajahan, ternyata kebanyakan orang masih juga menyebut Perang Aceh. Bahkan dalam kurikulum nasional dan buku paket (sejarah) pun, dengan tegas ditulis Perang Aceh. Sayangnya, kebanyakan orang dari kita ini bahkan tidak pernah melihat sejarah perang ini dari segi dokumentasi yang ditinggalkan oleh perang, atau jangan-jangan mereka mengetahui hal itu. sepertinya, ada degradasi (persepsi) sejarah yang luar biasa ketika orang-orang berbicara tentang sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda (1873-1942).
Sejarawan dan mahasiswa sejarah juga demikian. Mereka yang mempunyai tugas utama untuk membongkar ingatan masa lalu, ternyata juga menulis dan menyebut Perang Aceh. Bahkan ada dugaan kuat, besar kemungkinan orang pertama yang mempopulerkan sebutan Perang Aceh adalah sejarawan. Dengan tegas sejarawan menganggap dan menyebut perang antara Aceh dengan Belanda ini sebagai Perang Aceh. Tidak percaya? Tengok saja dari berbagai literasi (buku) sejarah yang beredar luas di masyarakat. Sementara dari sejarawan Belanda, saya tidak mau berkomentar.
Yang membuat banyak saya keanehan, sejarawan gagal menggunakan metodologi sejarah ketika mengungkap sejarah perang ini. Tampaknya, ada degradasi sejarah yang luar biasa ketika berbicara sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Dan, tampaknya juga sejarawan benar-benar gagal menerpakan metodologi sejarah (kritik sumber, intepretasi atau penafsiran, dan historiografi sejarah) dalam mengungkap sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Saya tidak tahu sejak kapan sebutan Perang Aceh dikumandangkan dalam buku-buku sejarah hingga dikenal samapai generasi saat ini. Tapi yang jelas hal ini telah dilakukan, dituliskan, dan dipertahankan selama bertahun-tahun.
Sejarah perang antara Belanda dengan Aceh ini memang mengundang perhatian di banyak kalangan, tidak hanya sejarawan tetapi juga peminat sejarah. Bagaimana pejuang Aceh merespons maklumat perang dan membuat Belanda kewalahan menghadapi di medan area, menjadi bukti bahwa perang ini cukuplah besar. Sayangnya, apa yang telah ditunjukkan oleh pejuang Aceh (tidak hanya pemimpin perang saja), ternyata hanya dituliskan sekitar 3 atau 5 halaman saja dalam buku paket sejarah di SMA. Pada saat bersamaan, rupanya kesalah fatal ini tidak hanya berlaku bagi Aceh, tetapi juga bagi sejarah daerah lainnya (yang kemudian menjadi sejarah nasional) mengalami hal yang sama, bahkan ada daerah yang sejarahnya tidak dimasukkan.
Memang benar, sebelumnya saya juga menyebut perang ini dengan sebutan Perang Aceh. Tapi begitu saya mengetahui alur cerita sejarahnya, saya berhenti untuk tidak menyebutnya lagi. Saya cukup miris mendengar, melihat dan mengetahui bahwa masih banyak orang yang mau menyebut Perang Aceh ketika tanggal 26 Maret tiba, atau saat mereka menceritakan tentang Umar, Dhien, Meutia, Panglima Poling, sampai ke Hikayat Prang Sabil. Anda tahu, Perang Aceh yang Anda sebut demikian itu tidaklah seperti yang Anda sebut sebagai Perang Aceh, karena fakta sejarahnya tidak demikian. Ini bukan perang Aceh, bung.
Jika Anda mampu menunjukkan bukti sejarah bahwa Aceh yang mengultimatum perang atau Aceh yang memulai perang, maka perang Aceh pantaslah disebut demikian. Tapi jika tidak mampu menunjukkan, maka jangan bertindak sok tahu apalagi berani mengklain diri sebagai sejarawan. Mengapa masih menyebut Perang Aceh? Anda tidak punya jawaban yang kuat untuk menjawabnya. Akan lebih mudah bagi saya berbicara sejarah sesuai dengan faktanya, ketimbang mengikuti atau meneruskan tradisi yang salah tentang sejarah Aceh yang satu ini.
Jika Anda punya waktu, silahkan datangi mahasiswa Bahasa Indonesia atau ahli bahasa untuk tanyakan soal makna Perang Aceh. Tanyakan kepadanya apa arti atau maksud dari dua kata ini: Perang Aceh atau Perang dan Aceh. Bukan sejarahnya yang harus Anda tanyakan, tapi arti dari bahasa Perang Aceh atau Perang dan Aceh. Jika punya waktu, ada baiknya Anda tanyakan soal itu.
***
Rabu, 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda, menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang seharusnya dapat Anda jadikan sebagai patokan apakah pantas perang ini disebut sebagai PERANG ACEH.
Perang Aceh, itulah yang selama ini seringkali kita dengar. Bahkan dalam buku-buku sejarah, media, makalah, jurnal, artikel, opini, acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu, sebutan Perang Aceh bertebaran begitu banyak. Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata tersendiri bagi kita yang mengikuti sejarah ini. Maka tak heran, ketika tanggal 26 Maret tiba sebutan Perang Aceh pun tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar, kecuali itu bagi mereka yang tak pernah paham tentang cerita jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh.