Seorang teman saya pengagum (salah satu) tokoh sejarah, bercerita tentang posisi tokoh yang ia puja dalam khasanah sejarah Indonesia. Tentang seorang tokoh sejarah yang masih dipuja olehnya. Tentang keinginan tokoh sejarah itu (walau hanya sebatas bercita-cita saja) di masanya hingga berakibat sampai sekarang.
“Dia adalah jelmaan Dewa,” ujar teman saya ketika kami sedang menengak kopi hitam di depan Gedung Fakultas Pendidikan. Batin saya tersentak, seolah kopi yang sedang saya minum kembali panas. Ucapan itu membuat saya terhenti, berpikir sejenak tentang apa yang ia bicarakan.
Hanya empat kata. Cukup kata-kata itu saja, tak perlu diuraikan panjang lebar tentang sebuah makna yang hendak ia sampaikan. Empat kata itu adalah referensi pemujaan yang tak perlu dijelaskan arti superlatifnya. Selama beberapa waktu lalu, saya sempat punya keyakinan bahwa ia adalah orang yang berilmiah. Tapi karena ucapan tersebut, saya harus buru-buru merevisi keyakinan saya bahwa dia adalah saah satu masyarakat ilmiah yang mencoba mencampurkan ilmunya dengan mitos.
Anda tahu, pernyataan tadi menyeberangkan dan mengantarkan tokoh sejarah yang ia puja itu dari sebuah noktah sejarah menjadi mitos.
Ia (tokoh sejarah yang dipuja itu) bukan lagi sekadar cerita yang nyata adanya. Ia telah menjadikan tokoh itu sebagai yang khayal, yang lentur untuk dimasukkan dalam cerita apa saja. Fakta dan konteks menjadi relatif berhadapan dengan dirinya. Ini luar biasa menyengat hati saya.
Misal, dilihat dari segi prestasi dan kontribusi yang ia sumbangkan, dengan tidak bermaksud untuk mengecilkan, selama belasan tahun berkuasa/bertahta/berkarir untuk negeri ini, ia hanya sebatas bercita-citakan saja. Bahkan tak jarang, banyak kontroversi yang menyelimuti tokoh sejarah yang dipuja oleh teman saya.
Tetapi selalu muncul argumen bahwa tokoh yang ia puja itu, yang dalam perjalanan sejarah bangsa ini tak bakal teraih. Muncul pembelaan yang pada intinya mendudukkan tokoh sejarah yang dipuja teman saja itu, menjadikannya sebagai pusat alasan atas sebuah kesuksesan, dan tentunya berujung dengan kekuasaan dan kudeta yang kejam. Sementara ketidaksuksesan disebabkan oleh sekian macam faktor diluar tokoh itu yang (sepertinya) berkonspirasi untuk menggagalkan, dan sebuah cerita ketika ia dikudeta.
Juga, ingatkah ketika teman saya itu memalingkan wajahnya saat saya mengatakan bahwa tokoh yang ia puja itu masih dalam taraf bercita-cita dan belum naik levelnya menjadi action, terlepas dari hasil akhir dilapangan bahwa intinya ia telah berani berbuat nyata. Nol besar.
Dari segi ketrampilan dan visi misinya, alasan pertama mengapa ia dipuja, mungkin ia hebat. Tetapi hebat itu tentu saja berkonteks: dibandingkan dengan siapa, posisinya, kompetisinya, maupun tentu saja jamannya, dan yang paling penting adalah (action) karya nyata.
Kalau kita mau bercermin sekarang, seberapa banyak yang pernah melihat secara langsung ia menorehkan catatan emas dan membawakan ke puncak kejayaannya? Kemungkinan besar tak terlalu banyak. Hanya cerita dari ingatan yang semakin kabur dari fakta yang kemungkinan beredar. Atau bagi mereka yang mempunyai akses ke Google ataupun Youtube, cuplikan-cuplikan yang tentu saja selektif memperlihatkan kehebatan tokoh yang di puja teman saya.