Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PNI Lama dan Lahirnya PNI Baru: Menengok Dua Pemikiran yang Berbeda (Soekarno vs Hatta-Sjahrir)

2 Agustus 2017   15:05 Diperbarui: 3 Agustus 2017   08:53 22271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.merdeka.com/

Abad ke-20 bagi Indonesia merupakan periode mobilisasi politik massa yang bercorak radikal serta penuh kekerasan. Kalau mobilisasi yang dijalankan oleh Sarekat Islam (SI) pada tahun awal-awal eksistensinya lebih dijiwai oleh revivalisme agama, sehingga oleh PKI lebih diarahkan ke suatu revolusi sebagai pemenuhan doktrin Marxisme dengan perjuangan kelas yang terkenal itu.

Pada masa itu memang jelas kecenderungan struktural tampak memberi angin kepada gerakan komunis, tidak lain karena kalau pada satu pihak ada pertumbuhan ekonomi perkebunan yang luar biasa maka pada pihak lain kehidupan rakyat kecil semakin merana. Di sini masalah eksploatasi dengan jelas dapat ditonjolkan sehingga mudah mendorong ke arah aksi penuh kekerasan. Meskipun dibeberapa tempat mobilisasi rakyat berhasil, namun sifatnya tetap merupakan segmentasi dan terisolasi satu sama lain sehingga dengan mudah dapat ditindas oleh penguasa kolonial Belanda.

Kecuali kejutan politik, rupanya dampak pemberontakan PKI tahun 1926 itu tidak banyak artinya. Di kalangan kaum moderat dari pergerakan nasional timbul sikap mencela tindakan keras itu, sedangkan di kalangan kaum nasionalis berhaluan radikal diusahakan mencari alternatif bentuk perjuangan yang lain dalam menghadapi kolonialisme yang semakin gigih dipertahankan oleh Belanda seperti yang disuarakan oleh Colijn dan Treub.

Dalam rangka mencari alternatif itu, beberapa konsiderasi historis menunjukkan orientasi politik yang jelas, yaitu: (1) Garis-garis pokok manifesto politik Perhimpunan Indonesia (PI) memberi pegangan yang fundamental. (2) Secara berturut-turut para anggota PI pulang ke Indonesia. (3) Munculnya kepemimpinan kaum inteligensia yang bukan anggota PI. (4) Mobilisasi rakyat telah mengarak ke suatu momentum, sehingga perlu diteruskan dengan kepemimpinan baru. (5) Tampuk pimpinan kekuasaan kolonial yang dipegang oleh Gubernur Jenderal de Graeff masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum nasionalis.

Meskipun sumber-sumber daya pergerakan nasional telah tersedia, seperti kepemimpinan, ideologi massa sebagai pendukung, organisasi-organisasi sebagai wahana komunikasi, namun ada faktor-faktor minus yang menghambatnya, antara lain konflik antar dan dalam organisasi, rivalitas antara pemimpin, pluralitas masyarakat Indonesia dengan golongan-golongan politiknya, kesenjangan antara elite dan massa. Jelaslah bahwa faktor-faktor itu kontra produktif dan hanya mempunyai akibat saling melemahkan belaka. Dalam menghadapi proliferasi kekuatan nasional itu, pemerintah kolonial dengan mudah mempergunakan situasi penuh konflik itu untuk menempuh politiknya yang semakin reaksioner.

Dipandang dalam konteks itu, maka pembentukan PNI (Partai Nasional Indonesia) merupakan jawaban tepat terhadap tantangan zaman serta yang optimal dapat diusahakan untuk memakai sumberdaya yang tersedia. Secara eksplisit dinyatakan bahwa di dalam PNI tidak ada diskriminasi menurut ras, suku, agama, golongan sosial, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip PI pada umumnya dipakai sebagai pokok-pokok asas tujuan, meskipun para pendiri tidak menerima ide PI secara keseluruhannya dengan alasan bahwa organisasi politik Indonesia perlu mengadakan penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya yang nyata sekali berbeda dengan lingkungan di negeri Belanda.

Itulah sebabnya mengapa konsep Serikat Rakyat Nasional Indonesia (SRNI) seperti yang diajukan oleh Soedjadi sebagai perantara PI di Indonesia tidak dapat diterima sepenuhnya. PNI mempunyai basis pendukung seperti Sartono, Soekarno, Soenarjo, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan lain sebagainya. Berbeda dengan PI, PNI tidak menegaskan perjuangan kelas tetapi lebih menekankan perjuangan melawan kolonialisme. Jadi, lebih merupakan perjuangan rasial. Jiwa populistisnya kemudian lebih dikenal sebagai Marhaenisme.

Suatu dampak yang menonjol dari politik konservatif Gubernur Jenderal Fock ialah pergerakan nasional menempuh jalan makin radikal dalam memperjuangkan tujuannya yang semakin berubah menjadi politik murni. Lokasi sosial golongan yang mendukung suatu organisasi pergerakan akan sangat menentukan derajat radikalismenya. Kalau ternyata PKI menyediakan suatu alternatif yang kemudian menemui kegagalan, kaum inteligensia sejak pertengahan tahun 1920-an berusaha membentuk organisasi politik berdasarkan prinsip-prinsip seperti yang telah digariskan oleh PI. Manifesto politiknya sebagai hasil pemikiran di kalangan PI dapat dipandang sebagai ekspresi jiwa nasionalisme yang telah mengalami pemekaran sepenuhnya.

Sesuai dengan kedudukannya, kaum inteligensia telah mengadakan interpretasi yang tepat mengenai situasi sosial-politik di Indonesia dalam tahun 1920-an itu serta secara tepat pula merumuskan diagnosis sosial untuk dapat mengatasi permasalahannya. Pandangan PI yang bersifat global dapat menunjukkan pokok-pokok hakiki dalam situasi kolonial, dan oleh karenanya prinsip-prinsip demokrasi, swadaya, dan persatuan merupakan soko guru pergerakan nasional di masa-masa kemudian. Idealisme politik yang berkembang di kalangan PI mencerminkan lokasi sosial-histori para pendukungnya yang mengandung antara lain faktor-faktor seperti: (1) Suasana politik bebas di negeri Belanda dengan kebebasan berkumpul dan berbicara; (2) Para anggota PI sebagai mahasiswa pada umumnya tidak mempunyai ikatan dengan kepentingan tertentu; (3) Solidaritas antaretnik mudah terpuruk, lebih-lebih di kalangan kecil sesama golongan akademik.

Meskipun manifesto politik tersebut memberi orientasi tujuan yang jelas bagi bagi perjuangan politik dengan Indonesia serta sebagai idealisme sangat meningkatkan aspirasinya, namun dalam kehidupan politik praktis di Indonesia sering dirasakan kurang sesuai dengan situasi yang sebenarnya, dan ada kalanya disambut dengan kritik tajam sebagai hal yang tidak realitis, lagi pula terlalu lepas dari rakyat.

Ada faktor lain yang menimbulkan dugaan bahwa konsepsi PI tidak dapat begitu saja diterima dan dipraktekkan di Indonesia, ialah adanya kecurigaan pada pihak Belanda bahwa konsep PI itu sebenarnya berasal dari konsepsi Semaoen. Bantahan Moh. Hatta mengenai tuduhan itu tidak berdaya menghilangkan kecurigaan itu.

Di samping itu, muncullah kontroversi besar antara konsepsi Hatta dan Sjahrir dengan konsepsi Soekarno, yaitu pihak pertama (Hatta-Sjahrir) mengarahkan perjuangan politik sebagai pelaksanaan melawan kapitalisme sebagai biang keladai kolonialisme Belanda, sedangkan pihak kedua (Soekarno) lebih mengarah pada konfrontasi "front cokelat" melawan "front putih". Tambahan pula dari penulis, bahwa pihak pertama menghendaki pendidikan kader sebelum memobilisasi rakyat, sedangkan pihak yang kedua langsung mengutamakan mobilisasi rakyat. Kontroversi ini akan mengakibatkan keretakan dan perpecahan di kalangan inteligensia sebagai pemimpin pergerakan nasional.

Dengan demikian, sejak awal usaha melancarkan perjuangan politik dengan gaya baru telah terkandung benih-benih faksionalisme secara konflik intern sehingga prinsip persatuan menghadapi hambatan yang besar. Tambahan pula, dilancarkan kritik tajam dari PSI, khususnya kelompok H.A Salim, yang mencap gerakan PI bersikap terlalu negatif, ialah merangsang perasaan anti-Belanda, sedangkan sebaliknya sama sekali tidak ada kesediaan berkorban untuk rakyat. Kecuali itu kaum inteligensia itu sudah terasing dari rakyatnya sendiri.

Dirasakan oleh H.A Salim bahwa perkembangan gerakan nasionalis di luar PSI akan semakin meningkatkan gerakan sekuler, suatu kecenderungan yang pasti semakin merongsong PSI yang telah mengalami kemunduran itu. Jelaslah pula bahwa gerakan SI (PSI) telah kehilangan momentum, dan tahun 1920-an ditandai oleh nasionalisme Indonesia yang tidak lagi bernaung di bawah panji-panji Islam secara sepenuhnya.

***

Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan di Bandung pada 4 Juli 1927 oleh kaum terpelajar yang yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar itu tergabung dalam Algemene Studieclub(Bandung) dan kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang telah kembali ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya. Ini terlihat dari strategi perjuangannya yang berhaluan non-kooperasi. PNI tidak mau ikut dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah.

Tujuan PNI adalah mutlak untuk kemerdekaan Indonesia, dan tujuan itu akan dicapai dengan asas "percaya pada diri sendiri". Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan dicapai melalui berbagai usaha, seperti usaha politik, usaha ekonomi, dan usaha sosial.

Istimewa (liputan6.com)
Istimewa (liputan6.com)
Usaha politik, yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidamh politik, PNI berhasil menghimpunorganisas-organisasi pergerakan lainnya ke dalam suatu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia.

Usaha ekonomi, yaitu dengan memajukan perdagangan rakyat, kerajinan atau industri keci, bank-bank, sekolah-sekolah, dan koperasi.

Usaha sosial, yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot seperti, Ir. Soekarno, Mr. Ali Sasrtoamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indonesia. Soekarno dengan keahlian dan kepiawaiannya berpidato dihadapan publik, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Melihat gerakan dan pengaruh PNI yang semakin luas, pemerintah kolonial  Belanda menjadi cemas, maka dilontarkanlah bermacam-macam isu untuk menjelekkan PNI. Bahkan kemudian mengancam PNI agar menghentikan kegiatannya. Rupanya Belanda belum puas dengan tindakannya itu, maka PNI pun dituduh melakukan pemberontakan. Pemerintah Belanda melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI di seluruh wilayah Indonesia pada 24 Desember 1929. Bahkan disinyalir Belanda juga menggunakan pasal karet (undang-undang atau peraturan organisasi) untuk menjerat PNI berserta pengurus yang berpengaruh.

Akhirnya, ada 4 tokoh teratas PNI yaitu Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Markoen Soemadiredja, dan Soepiadinata diadili di Pengadilan Negeri Bandung dan dijatuhi hukuman penjara pada 20 Desember 1930. Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi PNI, dan, oleh karenanya atas inisiatif Mr. Sartono pada Kongres Luar Biasa ke-II pada 25 April 1931 PNI dibubarkan.

Untuk menyikapi hal tersebut, kemudian Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Tetapi tindakan ini membawa perpecahan yang mendalam. Ketergantungan pada seorang pemimpin, dikritik habis oleh mereka yang menentang perubahan PNI. Mereka menyebut dirinya sebagai "Golongan Merdeka", kemudian membentuk partai baru, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru.

***

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931. Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan Soerkarno. Dari sini muncul tokoh baru seperti Sultan Syahrir yang waktu itu masih berusia 20 tahun dan menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama, yaitu kemerdekaan Indonesia dan non-kooperasi, tetapi strategi perjuangannya berbeda. PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader, sementara PNI Lama lebih mementingkan memobilisasi massa atau agitasi politik yang ekspresif.

Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama "Daulat Rakjat", yang mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu "Golongan Merdeka" serta mengasuh majalah "Daulat Rakjat".

Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru. Soekemi dipercayakan untuk menduduki jabatan sebagai ketua PNI Baru. Sementara Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dengan Djohan Sjahroezah sebagai sekretaris cabangnya.

Sumber: https://www.merdeka.com/
Sumber: https://www.merdeka.com/
Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru adalah sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada awal tahun 193, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.

Dimasukkannya kata "Pendidikan" ke dalam nama partai mengandung maksud yang serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman "Daulat Rakjat" dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah "Kearahan Indonesia Merdeka (KIM)" yang secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.

Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secara keseluruhan, jawaban-jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas, dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai berikut, "Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup?". Jawabannya adalah;

"Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhakan  oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat masih menderita dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan".

Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada "Workers Education Essocition" (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.

Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.

Mulai tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah Belanda, PNI Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan PNI Lama. Para pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar sulit --jika bukan msutahil,-- dilaksanakan dalam lingkungan seperti itu, dan ketergantungan hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila sang pemimpin itu ditangkap. Oleh karena itu, PNI Baru lebih bertujuan menghasilkan kader-kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.

Satu hal yang pasti bahwa PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian atas prinsip-prinsip bersama.

PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu pedoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisis mengenai imperialisme dan tatanan sosial, PNI Baru tidak memiliki ideologis.

Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang sependirian dan generasi yang lebih muda keluar Partai Sosialis untuk mendirikan PSI.

Disini tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis pribumi, sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi pemerintahan. Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model "aksi massa" dan model "pembentukan kader". Sesungguhnya, pada tahun 1930-an, kedua model tersebut sama-sama tidak mempunyai peluang untuk berhasil, juga karena politiknya yang sangat kolot dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge.

Karena kegiatan aktivitas politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda, maka pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan, Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman, Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI Baru lainnya diasingkan ke Boven Digul. Di samping itu, pemimpinnya kemudian di tangkap dan dibuang ke luar Jawa.

Solo, 2 Agustus 2017.

= = = = = = =

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, asal dari Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun