Akhirnya, ada 4 tokoh teratas PNI yaitu Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Markoen Soemadiredja, dan Soepiadinata diadili di Pengadilan Negeri Bandung dan dijatuhi hukuman penjara pada 20 Desember 1930. Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi PNI, dan, oleh karenanya atas inisiatif Mr. Sartono pada Kongres Luar Biasa ke-II pada 25 April 1931 PNI dibubarkan.
Untuk menyikapi hal tersebut, kemudian Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Tetapi tindakan ini membawa perpecahan yang mendalam. Ketergantungan pada seorang pemimpin, dikritik habis oleh mereka yang menentang perubahan PNI. Mereka menyebut dirinya sebagai "Golongan Merdeka", kemudian membentuk partai baru, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru.
***
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931. Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan Soerkarno. Dari sini muncul tokoh baru seperti Sultan Syahrir yang waktu itu masih berusia 20 tahun dan menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama, yaitu kemerdekaan Indonesia dan non-kooperasi, tetapi strategi perjuangannya berbeda. PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader, sementara PNI Lama lebih mementingkan memobilisasi massa atau agitasi politik yang ekspresif.
Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama "Daulat Rakjat", yang mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu "Golongan Merdeka" serta mengasuh majalah "Daulat Rakjat".
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru. Soekemi dipercayakan untuk menduduki jabatan sebagai ketua PNI Baru. Sementara Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dengan Djohan Sjahroezah sebagai sekretaris cabangnya.
Dimasukkannya kata "Pendidikan" ke dalam nama partai mengandung maksud yang serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman "Daulat Rakjat" dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah "Kearahan Indonesia Merdeka (KIM)" yang secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.
Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secara keseluruhan, jawaban-jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas, dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai berikut, "Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup?". Jawabannya adalah;
"Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhakan  oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat masih menderita dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan".
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada "Workers Education Essocition" (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.