Hampir semua organisasi yang muncul di awal, hanya mewakili golongan atau kalangan tertentu. Namun, berdirinya organisasi-organisasi tersebut, juga memicu munculnya organisasi kepemudaan walaupun masih dalam taraf kesukuan. Tujuan mereka sama, Indonesia merdeka terlepas dari kolonialisme Belanda. Hanya saja, mereka masih terikat faktor kesukuan dan ikatan wikayah. Seperti organisasi Tri Koro Dharmo yang kemudian dikenal dengan nama Jong Java. Berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta dan dipimpin oleh Satiman Wiryo Sandjojo. Anggotanya hanya berasal dari Jawa dan Madura saja.
Jong Java menjadi organisasi yang besar dan kegiatannya berkisar pada bidang sosial, kebudayaan dan teori politik. Berdirinya Jong Java mendorong pemuda suku lain untuk mendirikan organisasi. Demikian pula para pemuda Sumatera. Mereka mendirikan Jong Sumantranen Bond (JSB), yaitu perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra.
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi. Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan didominasi oleh pemuda dari Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini mendirikan perkumpulannya sendiri, Jong Batak. Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjahja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa kondisi Sumatra belum matang bagi sebuah pergerakan di bidang politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini.
Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana surat kabar Jong Sumatra. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Tanah Sumatra memang dikenal dengan penghasil jago-jago pergerakan. Banyak diantaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi surat kabar Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921.
Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana”. Sedangkan Yamin merupakan salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada tahun 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan.
Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Pertumbuhan gerakan pemuda yang bersifat kedaerahan di Indonesia telah membawa pengaruh di kalangan pemuda pelajar yang berkumpul di pusat kegiatan pendidikan, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta.
Untuk memenuhi keinginan itu maka berdirilah Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Celebes (Sulawesi) dan perkumpulan pemuda lainnya. Walaupun anggota pendukungnya relative kecil tetapi nama organisasi cukup besar. Tujuan berdirinya organisasi pemuda lainnya seperti Jong Java, yaitu mengeratkan tali persaudaraan, memajukan budaya daerah, dan memperkuat persatuan pemuda.
Paham persatuan dan Indonesia merdeka makin berkembang dalam masyarakat Indonesia. Di samping organisasi yang berpegang pada daerahnya, terdapat pula kelompok yang dengan tegas menghendaki persatuan yaitu “Perhimpunan Indonesia (PI)”. Pada awal berdirinya PI berawal dari didirikannya Indische Vereniging pada tahun 1908 di Belanda, organisasi ini bersifat moderat. Sebagai perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia di Belanda untuk memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Pada awalnya Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi sosial.
Memasuki tahun 1913, dengan dibuangnya tokoh Indische Partij ke Belanda maka dibuatlah pokok pemikiran pergerakan yaitu Hindia untuk Hindia yang menjadi nafas baru perkumpulan mahasiswa Indonesia. Iwa Kusuma Sumantri sebagai ketua menyatakan 3 asas pokok Indische Vereniging yaitu: (1) Indonesia menentukan nasibnya sendiri, (2) Kemampuan dan kekuatan sendiri, dan (3) Persatuan dalam menghadapi Belanda.
Tahun 1925 Indische Vereniging berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia dengan tujuan Indonesia merdeka. Karena status anggota PI adalah mahasiswa, hal ini berarti posisi mereka tanpa ikatan sosial politik tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan. Sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan pemerintah Belanda.
Organisasi ini juga membuat lambang untuk Indonesia diantaranya merah putih sebagai bendera. Semenjak berakhirnya Perang Dunia I perasaan anti kolonialis dan imperialis di kalangan pimpinan dan anggota PI semakin menonjol, apabila setelah ada seruan dari Presiden AS, Woodrow Wilson, mengenai hak untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Tahun 1925 PI semakin tegas memasuki kancah politik, yang juga didorong pula oleh kebangkiatan nasionalisme di Asia dan Afrika. Di samping itu, muncul kesadaran mewujudkan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia semata.