Naik Gunung Rinjani atau Semeru, Bromo juga boleh. Seharusnya malam ini di dalam kamar mandi, di bawah pancuran sampai puas membengkakan mata, masuk angin terus muntah. Hipotermia sampai mati rasa, sampai lupa kalau masih punya kepala. Menjadi gila nampaknya pilihan terakhir, sebelum mati sia-sia. Sepertinya aku akan mati karena dehidrasi! Air mata keluar tanpa ada balas budi. Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa. Sudah kubunuh kau sejak akhir Juli lalu, lalu saya bunuh diri. Tegak racun barangkali. Romeo dan Juliet terulang kembali? Kita sudah tua, mati secara terhormatlah! Ada saran?
Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa. Aku tak menyangka, tapi aku sadari sesadar-sadarnya bahwa aku masih takut dosa. Tak perlu lah naik gunung, gunung cuma ada di tanah Jawa sana. Masuk hutan saja! Kalau masih ada hutan di Kalimantan ini. Jangan! Jangan! Nanti kau temui lubang pasca tambang dan malah terperosok ke dalamnya. Itu sarana mati yang tidak keren! Lupakan sajalah ide gila itu! Dulu kan cita-cita konyolnya mau mati di dalam kampus, pakai almamater, ceritanya mati pas jadi aktivis bentrok sama polisi saat demo di depan rektorat gitu. Atau mati seperti Soe Hok Gie, keracunan belerang. Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa…
Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa. Aku tak menyangka, tapi aku sadari sesadar-sadarnya bahwa aku masih takut dosa. Ingat 26 Juli 2008 lalu? Rasanya hancur ya. Sakit sekali di sini, di dada ini. Sesak, sulit berpas. Air mata tak terkontrol, begitupula dengan hingus yang menyumbat hidung makin membuat aliran oksigen terhambat. Rasanya kaki ini lemas, tidak mampu berpijak. Rasanya ingin ada yang direngkuh, dipeluk sebagai tempat berbagi kesakithatian. Setelah itu kau jadi punya kebiasaan baru, menangis sambil mandi. Kau terlalu angkuh untuk memperlihatkan butiran mahal itu di hadapan orang. Tidak ingin terlihat lemah dan cengeng. Bagi orang angkuh, menangis sambil mandi adalah solusi jitunya. Ya, menangis di bawah pancuran. Sejam, dua jam, kadang sampai ketiduran. Besoknya demam, muntah sendirian. Menangis lagi, tapi bukan di bawah pancuran. Kepok! Takut demam lagi, jadi menangis di bawah bantal, sesak napas karena hingus dan ditutupi bantal. Mati karena sesak napas? Tidak keren! Dikira pengidap asma! Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa…
Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa. Aku tak menyangka, tapi aku sadari sesadar-sadarnya bahwa aku masih takut dosa. Jangan tinggalkan aku. Aku tak bisa hidup tanpamu. Lebih baik aku mati saja kalau begini jadinya. Syukur kalau langsung mati! Kalau jadi gila? Apa g rempong? Gila itu pilihan terakhir sebelum mati sia-sia. Gila itu bebas. Tak dikenakan suatu hukum apa pun kepada orang gila. Makanya jangan heran, banyak penjahat main gila lalu jadi sok gila biar bebas dari hukuman. Sok gila tu lebih bahaya lho dari gila beneran! Lebih agresif dan hiperaktif juga reaksioner dan responnya cepat tanggap! Mana ada yang menyalahkan orang gila. Yang menyalahkan orang gila tu justru yang dianggap gila. Orang gila, orang yang termarginalkan oleh sistem. Kalau orang gila bunuh diri, paling orang cuma celoteh lalu, "Ah, wajar dia mati gitu. Kan dia gla! Kasihan juga kalau lama hidup, lebih baik mati sekalian". Selesai dikubur, sudah. Habis cerita. Kecuali orang gila itu sensasional, kontroversial, dan sesuatu! Kemungkinan bisa masuk infotaiment bahkan dibangunkan monumen khusus untuk mengenangnya. Makanya, jadilah orang gila yang inofatif, produktif, progresif, proaktif, dan punya akun jejaring sosial. Biar tetep eksis, boo! Ah, seandainya bunuh diri itu tak berdosa…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H