Sebenarnya ada yang menarik dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin ini. Pertama orang yang ditetapkan sebagai tersangka (dan diduga kuat sebagai pelakunya) yakni Jessica Wongso sama sekali tidak mengakui perbuatannya. Dia bahkan sempat beberap kali datang ke media untuk membeberkan cerita kejadiannya menurut versi-nya. Dan keterangan-keterangan yang dia sampaikan di media ini ternyata ditonton oleh orang banyak dan menimulkan penafsiran dari berbagai pihak, termasuk pakar-pakar yang ada. Dan ketika para pakar tersebut datang memberi keterangan di media tidak semuanya seiya sekata.
"
Nah, sebenarnya ini masalah klasik. TV one butuh acara agar bisa dapat duit. Kebetulan ini lagi ada kasus pembunuhan yang berada di pusat Ibukota Negara dan melibatkan orang-orang yang kalo dibilang awam ga juga, dibilang elit ga juga, tapi memang cukup menarik untuk disimak. TV one kemudian mengundang para pakar guna mengisi acara tersebut untuk didengar pendapatnya. Pakar A ngomongnya begini. Pakar B ngomongnya begitu. Pakar B maunya pendapatnya beda aja dari pakar A, kalo pendapatnya sama ngapain dia diundang, kesannya kan hanya menimbulkan plagiarisme. Atau kalo enggak, orang-orang akan berkata pakar B hanya membeo pendapat pakar A, dan bisa-bisa orang-orang juga akan menduga pakar B lebih rendah intelejensinya dari pakar A, padahal mereka sama-sama lulusan S2 hukum. Ya dalam pikiran pakar B yang penting beda aja lah!
Masalahnya ini adalah kasus pembunuhan berencana dan dijerat pasal 340 KUHP dengan sanksi hukuman mati. Saya jadi kasian juga ngeliat Jessica yang begitu bersih dan mulus harus dihukum mati? Iya memang suatu saat dia juga bakal mati, tapi kan apa ga kasian dia yang masih muda dan punya masa depan yang cerah harus berakhir tragis di depan regu tembak.
Tapi saya ga yakin juga. Di Indonesia memang masih berlaku hukuman mati. Namun trend yang terjadi beberapa puluh tahun terakhir amat jarang orang yang harus berakhir dihukum mati. Menurut sebuah situs, hukuman mati di Indonesia itu per tahun ga sampe 20 orang dari 200 juta lebih penduduk. Dan jarang yang dihukum mati itu seorang wanita. Tahun 2015 yang dieksekusi itu 15 orang. Dan biasanya yang dihukum mati itu orang yang membunuh secara sadis, atau pembunuhan berencana yang mengakibatkan korban lebih dari 1 orang. Andaikan kejadiannya ini di Australia mungkin ga akan sampe kepikiran hukuman mati, karena di Australia hukuman mati sudah dihapuskan.
Kenapa hukuman mati ini tetap diadakan adalah guna menegakkan azas keadilan sekaligus menimbulkan efek jera di masyarakat. Karena menghilangkan nyawa orang lain adalah sebuah tindakan yang sangat berbahaya bagi sebuah sistem, ibarat sel kanker. Jika pembunuhan berencana tidak dihukum mati, orang-orang ga akan mikir-mikir lagi melakukan pembunuhan karena mereka tahu hukumannya ga seberapa. Kendatipun kalo pembaca survei secara langsung di masyarakat (tanya ke orang-orang di jalan), apakah mereka tahu kalo pembunuhan berencana itu akan dijerat hukuman mati, mereka pasti jawabnya tidak tahu. Mereka buta hukum. Artinya banyakan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan orang-orang itu dikarenakan yang bersangkutan sama sekali tidak tahu kalo hukumannya sangat berat. Yang mereka tahu itu mereka lagi kesal, emosi, dendam, dongkol, dan pengen melampiaskannya. Termasuk kasus Wayan Mirna ini.
Dalam kasus narkoba sudah jelas, hukuman mati diadakan guna menimbulkan efek jera bukan untuk menegakkan prinsip keadilan. Termasuk kasus si cantik Rani Andriani. Soalnya gini, apa sih susahnya jualan obat? Kita jualnya kan ga maksa? Orang datang beli karena dia memang butuh obat tersebut. Kok ujung-ujungnya bisa kena hukuman mati? Karena jelas narkoba itu merusak sistem (masyarakat dan negara). Logika ini mestinya bisa diterapkan bagi kasus korupsi yang sama-sama merusak sistem. Sayang orang-orang yang kerjaannya nyusun undang-undang itu juga yang suka korupsi. Jadinya sampe sekarang hukuman mati bagi koruptor hanya sebatas wacana.
Bayangkan bro, seorang Rani Andriani yang begitu polosnya, ga tau apa-apa, taunya dapat duit, tiba-tiba di dalam tas yang dibawanya ke bandara terdapat 3,5 kg narkoba dan ujung-ujungnya kena hukuman mati. Dalam diri Rani Andriani tidak ada iblis di situ. Namanya hidup ya harus cari duit, kendatipun itu dengan cara menyeludupkan narkoba. Lantas bandingkan dengan kasus si pembunuh Wayan Mirna ini? Udah jelas ada niat dan motif jahat (devil’s due) di situ. Di mana letak keadilan? Apalagi di sangkut pautkan dengan kasus korupsi. Di saat orang-orang makan sampe ngamen jual diri segala, orang-orang di Jakarta main curi uang seenaknya. Kita bayar PPN beli pasta gigi yang seharusnya harganya cuma 15 ribu jadi 20 ribu. Beli motor yang harusnya harganya cuma 10 juta jadi 13 juta, padahal nyari uang 3 juta itu susah bangat, sampe ngojek berbulan-bulan, tiba-tiba di korupsi seenaknya ama anggota DPR. Di mana telak keadialan?
Soal CCTV.
Saya bukan pakar hukum, bukan pula praktisi hukum, bukan pula orang awam yang sering terpapar dengan masalah hukum. Cuma kebetulan saya kemarin baca-baca di internet mengenai kasus penggunaan CCTV sebagai sarana penegakan hukum. Dan memang fungsi CCTV ini sama dengan fungsi sidik jari atau bekas sperma: untuk mengidentifikasi pelakunya. Ga ada yang ngeliat pembunuhan tersebut, tapi ada bekas sidik jari Anda di pistol yang digunakan, otomatis Anda akan dipersangkakan. Nah begitu juga dengan status CCTV ini. Dengan reductio ad absurdum, seharusnya kita bisa menyimpulkan siapa pembunuhnya hanya dengan melihat CCTV tersebut. Ga harus ada saksi yang ngeliat bahwa, oh si Jessica naburin racun ke gelas, atau, si Hanny naburin racun ke gelas, dll. Cukup kita liat siapa saja yang masuk ke dalam tangkapan gambar CCTV tersebut dan kita cari tahu apa aja yang mereka lakukan dalam kaitannya dengan pembunuhan Wayan Mirna ini. Cukup dengan CCTV sebenarnya kita sudah bisa tahu siapa pembunuhnya, ga perlu tanya pendapat pakar A, pakar B, saksi ahli C, dan saksi ahli D, segala macam saksi ahli. Apalagi sampe tanya pendapat pakar grafology segala?Â
Dan CCTV ini pada banyak kasus sudah membantu dalam proses pengungkapan pelaku kejahatan. Jadi bukan sekedar wacana, tapi memang sudah banyak kasus kriminal terpecahkan karena bantuan CCTV. Contoh, kasus bom Boston di Amerika dan kasus perampokan di Medan yang terjadi kemarin. Soal kenapa validitas CCTV dipertanyakan dalam kasus Wayan Mirna ini adalah, pertama Jessica Wongso sebagai terduga kuat sama sekali tidak mengakui bahwa dia pelakunya. Bahkan dia sempat membentuk opini publik dengan menghadiri bincang-bincang di media. Kedua, para pakar itu ga mau pendapatnya sama dengan pendapat pakar yang sudah ada sebelumnya. Maunya pendapatnya beda aja. Padahal fungsi CCTV itu sama dengan fungsi sidik jari.Â
Kalopun pada akhirnya (andaikan) Jessica divonis hukuman mati. Maka itu ga akan langsung tahun itu juga eksekusinya. Biasanya dia menunggu dulu di penjara bertahun-tahun sampe psikologinya itu siap. Kalo kelamaan di penjara dan kemudian di hukum mati orang juga ga terlalu shock. Mereka ngapain juga lama-lama idup kalo di penjara. Lain kalo dia enak-enak hura-hura tiba-tiba besok dikatakan akan dihukum mati, kan ngeri bawaannya.
Jadi yang saya tekankan itu: CCTV itu fungsinya sama dengan sidik jari.