Mohon tunggu...
Nilam Sari
Nilam Sari Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

try to reverse enggineering what people think about me...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jalan Pikiran Orang Kota

4 Maret 2015   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:10 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalo Anda dari kampung, Anda tanamkan satu hal dalam-dalam di kepala Anda, bahwa umumnya orang kota itu menganggap bahwa orang-orang kampung itu adalah makhluk kelas 2. Jadi apa pun yang dilakukan oleh orang kampung (orang-orang yang baru datang dari kampung) adalah hal-hal yang pantas ditertawai.

Jadi jika Anda jago silat, jangan pernah ngaku jago silat di depan orang-orang kota. Bakal ditertawai bulat-bulat Anda. Sebab orang kota nganggap, “Yah, itu mah di kampung, ini di kota, banyak yang jago silat.”

Jadi pengalaman saya waktu pertama kali datang di Bandung. Saya ini seorang programmer dengan pengalaman setahun sebagai programmer (otodidak, nonprofesional). Setahun saya jadi programmer itu sebenarnya saya sudah aware bahwa di luar sana (di luar kampung dan kota saya) ada banyak programmer yang jauh lebih hebat dari saya.

Waktu saya S1, saya pernah dikasih sebuah software (katakanlah nama software itu WWN) buat dipelajari, di mana saya sampe terkaget-kaget ama kerumitan itu software. Terkaget-kaget karena saya yang tadinya cuma nulis software cuma sampe berapa file, dihadapkan pada sebuah software yang tersusun oleh beratus-ratus file yang 80 persen disusun oleh design pattern façade, sementara sejauh itu software yang saya buat hanya sebatas software sambil lalu (g tau design pattern, yang jelas jalan aja).

Sampai saat ini saya juga belum begitu tertarik ngoding ratusan baris per hari buat bikin software setara itu. Mulai dari util package-nya, wah sungguh luar biasa keren. Dan waktu itu saya browsing di internet apa ada ga orang-orang di Indonesia yang bikin software yang rumitnya kayak gini. Dan g ketemu di internet. Mungkin ada cuma ga di-opensource-kan. Kalo ga percaya, browsing aja di github. Satu dua aja orang Indonesia yang bisa bikin software keren dan di-open-source-kan dan rumitnya minta ampun.

Makanya waktu saya datang di Bandung, asumsi saya orang-orang Bandung pada goblok semua, dan ga tau ngoding. Apalagi sampe ketemu ama teman-teman mahasiswa di salah satu PT swasta di Bandung, yang udah S2, Gauss-Quadrature aja dia ga tau.Ya udah, makin pede aja saya bahwa di Bandung ini cuma saya yang tau ngoding.

Ada juga teman saya yang orang Bali. Dia ini udah lama jadi programmer. Sebenarnya dia ini jago dan udah bikin banyak hal. Cuma ga ada metadata tentang software produksinya, berapa baris yang dia ketik, berapa yang dia copy paste dari library orang.

Parahnya si doktor karung goni tadi, nganggapnya saya g tau apa-apa. Ya udah saya yang kena imbas omongannya.

Jadi saya tidak habis pikir. Saya yang terlalu polos, atau si orang kotanya yang terlalu polos. Mereka terlalu termakan stigma bahwa orang kampung itu adalah manusia kelas 2. Padahal sekarang ini jaman teknologi informasi.

Perkembangan terakhir yang terjadi di kota, orang kampung juga udah tau. Mana lagu yang ngetren di kota, di kampung juga lagu itu. Kalo Anda ga percaya, coba aja masuk grup-grup FB yang dikelola oleh orang-orang di pelosok. Orang kota ngatain up up up, mereka juga up up up.

Sebenarnya istilah anak layangan itu cuma sebentuk rasa tinggi hati dari orang-orang kota. Mungkin karena mereka pikir orang kampung (apalagi orang miskin) ga pantas bergaya seperti itu. Cocoknya orang yang lahir dalam keadaan kaya dan lahir di kota. Padahal dibandingkan teman-teman saya yang lain yang lahir di kota, saya ini lumayan smart lho, dan lumayan aware dengan situasi global. Mungkin saja saya terkesan sok-sokan. Namun mau dibahasakan gimana lagi. Sudah itulah bahasa terhalus yang mungkin bisa diungkapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun