Nama Carl Icahn bagi sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing lagi. Lelaki kelahiran New York City pada tanggal 16 Februari 1936 merupakan salah satu orang yang mengisi daftar investor papan atas di Amerika. Memulai karirnya sebagai pialang saham di Wallstreet, Carl Icahn kemudian meroket hingga masuk ke dalam daftar 50 yahudi terkaya di dunia.Â
Carl Icahn dikenal dengan tabiatnya yang berdarah dingin dalam melakukan corporate raid: pembelian secara besar-besaran saham perusahaan sehingga kemudian memiliki suara signifikan dalam voting pemegang saham yang dengan hal tersebut dapat digunakan untuk mengarahkan kebijakan agar menaikkan nilai saham yang bisa jadi bertentangan dengan keinginan direksi saat ini.
Jadi dalam suatu perusahaan (Perseroan Terbatas) terdapat tiga bagian yang punya peran penting, yakni Komisaris, Direksi, dan Pemegang Saham. Pemegang saham adalah penentu utama arah kebijakan yang implementasi sehari-harinya ini dilaksanakan oleh direksi. Adapun komisaris berperan untuk mengawasi kebijakan direksi agar sesuai dengan keinginan pemilik saham.Â
Bisa jadi suatu perusahaan dalam situasi saat ini sedang bagus-bagusnya, ada kekompakan dalam tim dan grafik keuntungan yang terus menanjak. Namun jika pemilik saham kemudian memutuskan hal yang sangat berbeda, misalnya dengan melakukan penjualan aset, bahkan pemecatan karyawan, maka itu adalah hak dia sepenuhnya. Dalam sistem ekonomi kapitalis, suara pemilik modal adalah suara Tuhan.
Carl Icahn pernah melakukan corporate raid terhadap perusahaan Trans World Airlines yang saat itu sedang bersiap menghadapi kebijakan deregulasi dari pemerintah Amerika. Akibatnya adalah perusahaan ini yang tadinya cukup profitable kemudian harus kehilangan beberapa aset-aset pentingnya karena dijual sesuai dengan perintah Carl Icahn selaku pemilik saham mayoritas.Â
Di akhir cerita perusahaan ini bangkrut namun Carl Icahn selaku pemilik modal sama sekali tidak mengalami kerugian. Hal ini disebabkan kebijakan perusahaan yang diambil itu menguntungkan Carl Icahn: dengan menjual aset-aset secara otomatis hasil penjualannya akan masuk ke kantong Carl Icahn sebagai pemilik saham.Â
Namun penjualan aset ini sudah pasti akan berdampak negatif bagi jalannya perusahaan. Namun dalam ekonomi tidak ada sistem belas kasih, dengan bangkrutnya Trans World Airlines maka para karyawannya kehilangan pekerjaan, sementara Carl Icahn selaku pemilik modal sudah mendapatkan kembali investasi yang dia tanamkan dalam bayout saham yakni dari hasil penjualan aset perusahaan tersebut, hmm.
Kabar yang heboh adalah pemegang saham mayoritas PT. Freeport saat ini adalah Carl Icahn. Dan entah kenapa dengan masuknya Carl Icahn  ini, PT. Freeport Indonesia yang tadinya mau diakuisisi oleh pemerintah Indonesia tiba-tiba tidak jadi. Jokowi bisa berkoar-koar kalau dirinya adalah Soekarno kecil, namun itu semua hanya isapan jempol jika dia tidak melakukan suatu kebijakan tegas terhadap kepentingan antek-antek Zionis Internasional ini.
 Soekarno tergelincir disebabkan oleh kebijakan dirinya yang mencoba memutus campur tangan CIA (yang disponsori yahudi Amerika) di Indonesia. Papua Barat dianeksasi oleh Soekarno bukan lantaran Soekarno peduli dengan rakyat Papua, akan tetapi Soekarno tahu kalau Papua Barat yang semula dikuasai oleh Belanda (sebagai negara industrialis yang tentu punya kapasitas dalam mengeksplorasi hasil tambang) harus kemudian dibagi-bagi dengan Amerika. Soekarno ingin lepas dari jeratan ini, sebelum akhirnya Amerika (melalui CIA) mengendus arah kebijakan tersebut. Soekarno seperti keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya.
 Papua yang tadinya dijajah secara kasar (hard imperialisme) kemudian beralih menjadi dijajah secara halus (soft-imperialisme). Memang di permukaan rakyat Indonesia seperti diuntungkan, PT. Freeport membayar sejumlah pajak ke pemerintah Indonesia, namun ini sama sekali tidak seberapa jika dibandingkan margin keuntungan yang didapatkan oleh PT. Freeport. Di akhir cerita Soekarno digulingkan dan Indonesia dililit utang IMF sekian triliun. Pertanyaan selanjutnya adalah bisakah Jokowi melakukan hal yang serupa dengan Soekarno, yakni melepaskan jeratan dari kebijakan Zionis ini, atau malah jadi tumbal jilid dua?
Â