Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Perolehan Suara dan Memori Peristiwa Kerusuhan Mei 98 (Studi Kasus pada PArtai Gerindra di Pemilu 9 April 2009)

29 September 2010   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil perolehan suara pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 telahdimenangkan oleh Partai Demokrat dengan dukungan suara sebanyak 2.988.743 atau sekitar 20,64%.[1] Banyak pihak yang memprediksi jika partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini akan memenangkan pertarungan. Namun, tak sedikit juga yang memprediksi jika Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang akan keluar sebagai pemenang. Hal tersebut disebabkan oleh gencarnya iklan partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini di media massa baik cetak maupun elektronik. Seperti contoh, iklan partai tersebut di televisi. Setiap kali kita menonton satu program acara di suatu stasiun televisi maka di saat itulah iklan tersebut muncul secara berulang-ulang dengan durasi sekitar 30 detik. Dan ketika mengganti saluran, maka iklan itu sudah pasti akan kita temukan lagi.

Masifnya iklan kampanye partai tersebut tak terlepas dari besarnya dana yang dikeluarkan.Sebagai ilustrasi saja, untuk membayar iklan di satu stasiun televisi dengan durasi hanya sekitar 30 detik saja maka setiap parpol harus rela mengeluarkan kocek sebesar Rp. 7 juta hingga Rp. 20 juta untuk setiap kali tayang. Berdasarkan data yang dimiliki AC Nielsen, diperoleh fakta yang mengagetkan bahwa terhitung sejak periode 1 Oktober 2008 hingga 2 Februari 2009 total biaya kampanye partai itu telah mencapai jumlah yang sangat fantastis, yaitu Rp 46,7 milyar. Sementara itu, pada kuartal pertama 2009 partai tersebut telah menghabiskan dana sebanyak Rp 66,7 miliar.[2] Konon, pengeluaran ini merupakan dana kampanye tertinggi.

Namun sayangnya, realitas yang terjadi adalah partai ini hanya memperoleh suara sebanyak 623.348 atau sekitar 4,3%. Itu berarti partai tersebut harus puas menduduki peringkat kedelapan dari 44 partai politik (parpol) peserta pemilu.[3]

Lalu timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya proses encoding dan decoding iklan ini di televisi? Dan apakah ini ada kaitannya dengan memori sosial masyarakat terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998?. Meskipun sampai saat ini belum ada keputusan pengadilan mengenai siapa dalang yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa yang banyak memakan korban itu, namun isu yang berkembang dan diyakini masyarakat selama ini bahwa Prabowolah otak di balik peristiwa ini.

Encoding dan Decoding Iklan Partai Gerindra

Televisi merupakan salah satu media elektronik yang paling banyak massanya. Hampir setiap orang memiliki barang ini. Dan menonton televisi merupakan aktivitas waktu luang paling popular di dunia sehingga tak heran apabila banyak orang menghabiskan banyak waktu hanya untuk duduk di depan televisi. Penduduk Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Sementara di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton televisi sekitar dua kalinya. (Allen, 1992: 13)

Begitu besarnya kekuatan televisi mendorong banyak perusahaan atau pihak tertentu yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk beriklan. Karena dengan beriklan di televisi, masyarakat menjadi tahu akan produk yang ditawarkan dan tertarik untuk memilikinya. Atau dengan kata lain, televisi mempunyai peranan penting dan strategis bagi suatu perusahaan dalam memasarkan produknya melalui iklan.

Istilah iklan sendiri pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Soedardjo Tjokrosisworo, seorang tokoh pers nasional Indonesia, pada tahun 1951. Soedardjo sengaja menggunakan kata iklan dengan alasan semangat penggunaan bahasa nasional Indonesia. Kata iklan sendiri berasal dari bahasa Arab I’lan yang berarti pesan.[4] Pesan yang dimaksud adalah suatu pesan yang di dalamnya mengandung unsur ajakan, bujukan, dan tawaran akan suatu produk atau jasa kepada konsumen. Melalui iklan, konsumen dibangkitkan kesadarannya (awareness) tentang adanya suatu produk atau jasa. Pada intinya, iklan bertujuan untuk mempengaruhi pikiran seseorang (state of mind). Dengan demikian, iklan adalah suatu pesan yang bertujuan untuk mempengaruhi calon konsumen agar tertarik pada produk atau jasa yang ditawarkan hingga kemudian membelinya.

Saat ini iklan tidak hanya dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memasarkan produknya, tetapi juga oleh parpol dalam rangka untuk mempengaruhi calon pemilih, membuat mereka tertarik hingga pada akhirnya menyoblos partainya ketika pemilu nanti. Bagi parpol yang memiliki dana cukup besar, berkampanye melalui iklan di televisi bukanlah suatu masalah besar. Karena yang terpenting adalah bagaimana caranya meraih dukungan suara. Dan partai yang cukup gencar berkampanye dengan menggunakan media televisi adalah Partai Gerindra.

Partai dengan lambang kepala garuda berwarna kuning ini dipimpin oleh Prabowo Subianto Djojohadikusumo yang merupakan mantan Pangkostrad sekaligus mantan menantu Presiden Soeharto pada Februari 2008. Terhitung sejak masa kampanye tanggal 12 Juli 2008 hingga dua minggu sebelum pemilu 9 April 2009 berlangsung, partai dengan nomor urut 5 ini telah menyedot perhatian masyarakat melalui iklan-iklannya yang sangat masif di televisi. Setiap hari di setiap saluran televisi sudah pasti iklan tersebut muncul secara berulang-ulang. Menurut Senior Manager Business Development The Nielsen, Maika Randin, tercatat sebanyak3.864 kali iklan partai tersebut muncul pada kuartal pertama di tahun 2009.[5]

Hal tersebut ditunjang oleh besarnya modal yang digunakan hanya untuk membiayai iklan kampanye di televisi. Setidaknya, berdasarkan data AC Nielsen diperoleh fakta yang mengejutkan jika total biaya kampanye partai ini untuk periode 1 Oktober 2008 hingga 2 Februari 2009 mencapai jumlah yang fantastis, yaitu Rp 46,7 milyar. Dan jumlah itu semakin membesar ketika pemilu tiba. Pada kuartal pertama 2009, partai itu telah menghabiskan dana sebanyak Rp 66,7 miliar.

Dengan demikian, partai tersebut telah menjadi sebuah arena kekuasaan yang membutuhkan banyak modal yang digunakan untuk meraih suara, dan salah satunya dengan cara beriklan. Akibatnya, iklan partai tersebut tak ubahnya seperti iklan produk makanan yang menonjolkan sisi-sisi kelebihan agar sang calon konsumen tertarik hingga kemudian membeli produk tersebut. Atau dengan kata lain, dengan mengiklankan partainya di televisi, mereka ‘berkeyakinan’ jika partainya merupakan sebuah produk yang layak dijual kepada calon konsumennya, dalam hal ini calon pemilih.

Lalu bagaimana sebenarnya encoding iklan partai tersebut secara keseluruhan?

Jika dilihat dari segi politik ikon (icon politics), partai ini dapat dikatakan berhasil membangun kesadaran (awareness) masyarakat akan keberadaan sosok Prabowo Subianto selaku sang ketua partai. Karena dalam setiap iklannya, selalu diawali dan diakhiri dengan kalimat, “Saya Probowo Subianto”. Kalimat ini sengaja diucapkan dengan tujuan untuk mengingatkan calon pemilih atau jika menggunakan istilah Roland Barthes sebagai penanda terhadap partai itu. Artinya, sebagai partai yang tergolong masih baru, banyak orang yang belum tahu keberadaan partai tersebut sehingga iklan yang dibuat harus sesederhana mungkin sekaligus ada penanda atau ciri khas partai tersebut, dalam hal ini yang menjadi penanda adalah sang ketua partai, yaitu Prabowo Subianto. Atau dengan kata lain, ketika seseorang ditanya tentang Partai Gerindra sudah tentu ia akan berucap, “Partai Gerindra, ya Prabowo Subianto”. Selain itu, intonasi suara yang keluar dari mulut Prabowo terdengar tegas, lantang, dan penuh percaya diri seolah-olah mencerminkan bahwa ia adalah sosok yang laik menjadi calon presiden Indonesia di masa depan yang tegas dan berani. Dengan demikian, sosok Prabowo sebagai ketua Partai Gerindra dengan citra (image) sebagai calon pemimpin Indonesia di masa depan yang tegas dan berani telah berhasil dibangun oleh partai ini melalui iklan-iklan kampanyenya sehingga masyarakat menjadi tahu akan keberadaan partai tersebut sekaligus sosok sang ketua partai.

Lalu dilihat dari para pemain figuran yang ada dalam iklan tersebut, misalnya, petani, pedagang, dan nelayan, iklan tersebut seolah-olah ingin mengatakan jika partai tersebut memiliki kepedulian terhadap masyarakat yang selama ini termarjinalkan. Selain itu, dalam iklan tersebut terlihat bagaimana penanda yang ada pada mereka sengaja dilekatkan dengan logo gambar partai tersebut. Seperti contoh, layar perahu seorang nelayan bergambar logo Partai Gerindra, topi seorang bu tani bergambar logo Partai Gerindra, payung yang dimiliki seorang pedagang bergambar logo Partai Gerindra. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini terpinggirkan sengaja dihadirkan dalam iklan tersebut dan penanda yang terdapat pada mereka sengaja dihubungkan dengan logo gambar partai tersebut dengan maksud untuk mencitrakan diri (image) jika partai itu memiliki kepedulian terhadap mereka.

Kemudian jika menyimak narasinya, iklan partai tersebut tergolong cerdas dan tepat sasaran. Karena selalu menonjolkan sisi-sisi kelebihan program partai tersebut. Seperti dalam salah satu iklannya, “Program kita (Partai Gerindra) justru untuk menanam padi dua juta hektar, menciptakan dua belas juta lapangan kerja baru, menghasilkan 16 juta ton beras yang bisa memberi makan para pekerja di kota, orang miskin, dan semua keluarga, dan meningkatkan kekayaan negara kita”. Atau dalam iklannya yang lain, “Ada satu partai baru dengan gagasan energi dan harapan baru. Satu gagasan untuk menghidupi keluarga, menciptakan lapangan kerja, dan mendidik semua anak-anak kita”. Dan kalimat-kalimat tersebut semakin dipertegas di akhir iklan yang berbunyi, “Partai yang Membawa Perubahan”. Itu artinya, partai ini mencitrakan diri (image) sebagai partai yang akan membawa perubahan bagi rakyat Indonesia karena memiliki visi dan misi yang jelas dengan program-program kerja yang sesuai dengan apa yang sedang dibutuhkan masyarakat, misalnya, menanam padi, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, dalam narasi iklannya masyarakat berusaha diyakinkan jika partai itu adalah partai yang berpihak kepada rakyat kecil dengan program-program kerja yang tepat sasaran sekaligus mengajak masyarakat untuk bergabung dan bersama-sama dengan Partai Gerindra menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Lalu bagaimana dengan decoding atas iklan ini?

Menurut Stuart Hall, aktivitas ‘memetik makna’ atau yang lebih dikenal dengan istilahdecoding merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan ‘natural’ tampaknya aktivitas itu. Oleh karena itu, ia menyarankan tiga hipotesis yang dari situ decoding terhadap wacana televisi bisa dibangun. Pertama, posisi dominan-hegemonik, yaitu penonton memetik makna yang dikonotasikan dari siaran televisi secara penuh dan men-decoding pesan berdasarkan kode acuan di mana ia di-encoding, kita bisa mengatakan bahwa penonton beroperasi di dalam kode dominan. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi dominan-hegemonik itu menangkap makna (decoding) sesuai dengan yang diinginkan encoder. Kedua, posisi yang dinegosiasikan, yaitu mayoritas penonton mengakui legitimasi dari definisi-definisi hegemoni untuk membuat penandaan (signifikansi) yang abstrak, walaupun pada level terbatas, situasional, ia membuat aturannya sendiri. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi yang dinegosiasikan adalah penonton yang setuju pada beberapa hal, namun menolak pada hal yang lain. Posisi ini yang paling seringkali terjadi pada penonton. Ketiga, posisi oposisional, yaitu penonton menolak secara penuh wacana yang ditampilkan encoder dan memutuskan untuk melakukan men-decoding sendiri. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi oposisional ini cenderung menolak secara penuh pesan yang disampaikan encoder karena mereka sudah memiliki wacananya sendiri yang berlawanan dengan encoder.

Di antara ketiga posisi decoding tersebut, posisi oposisionallah yang dilakukan masyarakat atas iklan partai itu. Hal ini terbukti dari tanggapan atau komentar masyarakat yang cenderung menolak sosok Prabowo, sang ketua partai, baik yang diucapkan secara lisan maupun yang tertulis di media massa, dalam hal ini koran. Seperti contoh yang terdapat pada salah satu rubrik kolom “Obrolan A-Politis” di Koran Kompas tertanggal 16 Januari 2009. Judul kolom yang ditulis oleh Nia Dinata tersebut adalah Demokrasi Tanpa Pesta. Di situ ia menceritakan tentang obrolan ringan para kru filmnya mengenai parpol apa yang akan dipilih saat pemilu nanti. Pada paragraf ketiga kolom tersebut, ia menyinggung tentang keberadaan Partai Gerindra yang disebut-sebut sebagai partai baru yang rajin beriklan kampanye di televisi dan radio dan sekaligus mengkritik sang ketua partai, Prabowo Subianto, sebagai pelaku pelanggaran HAM. Lebih tepatnya, ia menulis “Pembahasan beralih ke potensi partai-partai yang baru muncul, terutama yang rajin beriklan kampanye di televisiataupun radio-radio. Kritik pedas kembali muncul karena tokoh-tokoh partainya yang dianggap sebagai gembong pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negara tercinta ini”.

Meskipun tulisan Nia ini tidak cukup mewakili pendapat penduduk Indonesia secara keseluruhan, namun setidaknya melalui tulisannya diperoleh gambaran bagaimana pendapat masyarakat, dalam hal ini masyarakat perkotaan yang tinggal di Jakarta yang bisa dikatakan sadar politik atau memiliki pemahaman yang kritis terhadap situasi politik yang terjadi, terhadap iklan partai tersebut yang cenderung berada pada posisi menolak atau oposisional disebabkan sosok sang ketua partai, Prabowo Subianto, yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara encoding dan decoding tidak benar-benar simetris. Artinya, pesan yang disampaikan encoder belum tentu di-decoding penonton sesuai dengan apa yang diinginkan encoder. Karena baik encoder maupun decoder sama-sama memproduksi makna pesan itu sendiri: pertama oleh sang pelaku encoding atas pesan yang disampaikan; kedua, oleh masyarakat dalam kaitannya dengan lokasinya wacana-wacana lainnya sehingga tidak ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi setelah pesan itu menjadi sebuah wacana. Dengan demikian, proses encoding dan decoding terbuka bagi resiprositas yang berubah-ubah dan beroperasi dalam kondisi produksinya sendiri.

Berikut ini skema Hall tentang proses encoding dan decoding atas sebuah pesan:

Program sebagai wacana bermakna

Encoding

(Makna 1)

Decoding

(Makna 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun