Menurut Seneca, Sextius berbeda dari filsuf lainnya karena ia mengajarkan introspective self-examination dengan mempertanyakan kepada jiwa: sifat buruk apa yang telah diperbaiki hari ini?, kesalahan apa yang telah kamu perbaiki?, dalam sikap menghargai seperti apa kamu menjadi lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah membuat Seneca jatuh cinta pada ajaran Sextius. Lalu ia belajar ajaran Sextius melalui pengikutnya yang bernama Papirius Fabianus, guru Roma yang mengajarkan ajaran Socratic dan Stoic tentang nilai-nilai ideal integritas. Melalui ajaran Sextius dan Fabianus, Seneca belajar filsafat pragmatis Roma hingga akhirnya terlatih menjadi orator ulung.
Reputasi Seneca sebagai orator menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Mulai dari Kaisar Caligula hingga penggantinya Kaisar Caligula, Kaisar Claudius yang mengekskusi Seneca ke Corsica dengan dalih bahwa sang orator ulung telah berzina dengan saudara perempuan Caligula, Julia Lavilla. Selama pengasingan, ia dengan belajar filsafat dan ilmu alam (kehidupan yang dianjurkan oleh pemikiran Stoik Romawi) dan menulisConsolations. Pada tahun 49, istri keempat Claudius, Agrippina, memanggil Seneca kembali ke Roma untuk menjadi tutor bagi putranya, Nero, yang saat itu berusia 12 tahun. Pada saat Claudius mati, Agrippina berhasil mengumpulkan dukungan bagi Nero untuk menjadi Kaisar, mengalahkan putra Claudius, Britannicus.
Selama delapan tahun (dari tahun 54 sampai 62), Seneca menjadi penasihat Nero, bersama dengan seorang prefekpraetorianSextus Afranius Burrus. Pengaruh Seneca sangat kuat pada tahun pertama Nero menjadi kaisar. Namun seiring bertambahnya sifat tamak Nero terhadap kekuasaan, pengaruh Seneca semakin memudar. Lalu pada tahun 59, Nero berniat membunuh Agrippina, ibu kandungnya sendiri. Meskipun Seneca tidak menyetujui pembunuhan tersebut, namun ia secara tidak jujur menulis laporan pembersihan kesalahan bagi Nero kepada Senat Romawi.Â
Melalui kasus pembunuhan tersebut, saya melihat hubungan antara Kaisar Nero dan Seneca lebih bersifat hubungan hierarki antara atasan dan bawahan karena ia tunduk pada penguasa Nero. Seneca sebagai filsuf Stoa yang menjunjung tinggi kebijaksanaan tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah keputusan Kaisar Nero untuk tidak membunuh Agrippina. Di sinilah letak paradoks Seneca seperti yang telah saya singgung di awal.
Kumpulan 124 Moral Letters: Sebuah Kontemplasi Seneca
Paradoks Seneca semakin terbaca jelas saat saya membaca kumpulan 124 Moral Letters yang ditulisnya sesaat sebelum ia meninggal akibat bunuh diri dengan mengiris kedua urat nadi tangan, kaki, dan belakang lututnya. Kumpulan 124 Moral Letters ditujukan kepada tiga pembacanya: dirinya sendiri, teman-teman sesama filsuf, dan kemakmuran. Kumpulan 124 Moral Letters merupakan hasil kontemplasi pergulatan batin Seneca selama hidupnya, khususnya pemikiran ia sebagai filsuf Stoa maupun ia sebagai penasihat Kaisar Roma, Nero.Â
Seneca menyadari bahwa posisinya sebagai filsuf Stoa sekaligus penasehat Kaisar Roma yang tiran, Nero telah menimbulkan konflik, tidak hanya konflik pada batin dirinya sendiri, tetapi juga pada sesama filsuf, dan penduduk Roma. Filsafat telah menjadi alat legitimasi dan diperalat untuk fungsi penegakkan kekuasaan. Kaisar Nero memanjakan Seneca dengan memberikan kekayaan dan kemewahan sebagai upah dari loyalitas Seneca. Sebagai bentuk kesadaran dari kesalahan yang telah dibuatnya, akhirnya Seneca memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai penasehat Kaisar Nero. Namun sayangnya, keinginan tersebut ditolak Kaisar Nero.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H