Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seneca, Sebuah Paradoks

7 Juni 2018   20:40 Diperbarui: 7 Juni 2018   21:01 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kata paradoks adalah satu kata yang muncul setelah saya membaca tulisan mengenai Lucius Annaeus Seneca atau yang lebih dikenal sebagai Seneca. Paradoks pertama, di satu sisi, Seneca adalah seorang filsuf, moralis, dan dramatis (penulis sandiwara). Namun di sisi lain, ia adalah penasihat Kaisar Roma yang tiran nan kejam, Nero. Paradoks kedua, secara karakter, di satu sisi, ia memuji kemiskinan. 

Tetapi di sisi lain, ia mengumpulkan banyak kekayaan dan melakukan pemborosan dengan membeli 5.000 meja yang terbuat dari kayu pohon jeruk dan kaki mejanya terbuat dari gading.Membaca kedua paradoks di atas tak ubahnya melihat kedua sisi mata uang logam Rp 1.000. Di sisi depan, uang logam Rp 1.000 bergambar burung garuda dan tercantum nilai mata uang Rp 1.000. Di sisi belakang, uang logam Rp 1.000 bergambar angklung. Kedua sisi tersebut merupakan deskripsi dari satu bentuk yang sama, yaitu uang logam Rp 1.000. 

Begitu juga dengan Seneca. Kedua paradoks Seneca, baik secara aktivitas maupun karakter, membantu saya dalam mendeskripsikan sekaligus memahami pemikiran Seneca. Dalam arti, Seneca secara individu, yakni filsuf Stoa maupun Seneca secara publik selaku penasehat Kaisar Roma Nero.Seneca: Filsuf StoaSeneca lahir di Corduba, Hispania yang saat itu merupakan provinsi terbesar di kerajaan Roma. Seneca adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari kedua orang tua yang merupakan imigran dari Itali. Lucius Annaeus Seneca the Elder, ayah Seneca, adalah orang kaya yang cukup memiliki penunggang kuda warga negara Roma dan bekerja sebagai penulis yang memberi nama dalam administrasi kerajaan.

Ia mempersiapkan kedua anak tertuanya, termasuk Seneca, dalam usia muda untuk berkarir di bidang politik dan melatih mereka dalam deklamasi dan berdebat. Seneca muda tumbuh dan berbicara dalam bahasa Latin. Seneca belajar filsafat, khususnya Stoicism dengan gurunya yang bernama Attalus (fl. A.D. 14 -- 37), filsuf Alexandria yang mengajarkan bahwa manusia bijak meskipun tidak memiliki kekuatan, baik secara politik maupun kekayaan, namun ia adalah raja dalam arti yang sebenarnya. Seneca mempelajari Stoicism karena saat itu filsafat Stoa sedang menjadi "tren". Stoicism pertama kali diperkenalkan oleh Zeno[1]. Ia memimpin kehidupan model bertapa seperti Socrates, Diogenes, dan Crates yang diakui sebagai guru Cynic dan Zeno. 

Stoicism adalah filsafat yang memfokuskan pada ajaran keras etika bertindak baik; bercita-cita sebuah hidup baik dengan ketenangan sebagai kebahagiaan sebenarnya; memahami dan mendamaikan diri sendiri ke ketuhanan; melatih diri melalui kegiatan spiritual sebagai kegiatan fisik, dan membiasakan diri dari sakit fisik dan keadaan emosi tidak tenang seperti marah, nafsu, kesedihan, cemburu, dan ketakutan kematian. 

Filsafat Stoa adalah sebuah ajaran hidup beretika keras yang mengharuskan setiap filsuf Stoa harus mempraktikkan sikap hidup sederhana yang tidak mementingkan kekayaan setiap hari, meskipun filsuf tersebut adalah orang kaya. Adapun dua ciri khas dari filsuf Stoa adalah berpakaian cloak (baju khas filsuf Stoa), mantel pendek yang terbuat dari baju kasar, dan tidur di kasur keras. 

Pada kepemimpinan Chrysippus of Soli (c. 280 -- 207 B.C.) dan Panaetius of Rhodes (185 -- 109 B.C.), Stoicism berkembang menjadi sebuah sistem filsafat. Misalnya, Stoicism mengajarkan bahwa persepsi individu dapat dipertimbangkan dan dipercaya jika memenuhi persyaratan kondisi, termasuk kejelasan, kemungkinan, dan persetujuan dari persepsi orang lain; kosmologi Stoicism melakukan sebuah ketetapan alam semesta yang berjalan melalui pengulangan tapi menetapkan siklus sebelumnya. Pada saat Seneca belajar filsafat, Yunani tidak lagi menjadi pusat belajar filsafat. Beberapa sekolah tradisional filsafat telah ditutup dan murid-murid yang belajar filsafat telah migrasi sepanjang kerajaan. 

Migrasi tersebut menyebabkan perubahan metode belajar filsafat di Athens dari awalnya adalah peripatetics, yaitu kelompok-kelompok kecil yang mengelilingi sang guru, dan mereka hidup berkontemplasi mengenai banyak hal, menjadi scholasticism, yaitu metode belajar filsafat yang memusatkan pada kajian teks dan menafsirkan teks-teks sebagai upaya latihan belajar filsafat. Scholasticism berkembang di Roma dan berhasil mengubah pandangan pragmatis budaya politik di Roma dengan mengkritik abstract idealism dan penekanan kewajiban warga. 

Akibatnya, Scholasticism mendapat perlawanan keras dari Cynics, banyak Epicurean, dan kaum Stoa. Hal ini dapat dilihat dari debat di antara filsuf Roma tentang relativitas res publica versus hidup waktu luang (life of leisure) yang secara tekun berfilsafat. Selain itu, pertentangan antara res publica dan life of leisure menyebabkan diperbaharuinya konsep idea Platon. 

Pada masa pertentangan antara Scholastism dan Stoicism, kondisi kekaisaran Roma berada dalam kondisi terburuk yang disebabkan oleh kepemimpinan raja-raja tiran, misalnya, Tiberius, Caligula, Cladius, dan Nero. Semua raja tiran tersebut telah membuat seluruh penduduk Roma hidup dalam kesengsaraan. Edward Gibbon menyatakan: Peculiar isery of the Romans under the tyrants. Seluruh penduduk Roma memuja raja-raja tiran tersebut sebagai: Caligula adalah orang gila, Nero adalah sadis yang kekanak-kanakan, tidak ada satu pun dari raja-raja tiran tersebut yang menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara adil (fair). Seneca sebagai dramatis (penulis sandiwara) menulis Tragedi Thyestes untuk menggambarkan betapa kejamnya dinasti Raja tiran, Julio Claudius. "Power follows misery and misery power, and waves of disaster batter his kingdom." 

Seneca: Penasehat Nero Pada awalnya, Seneca hanya tertarik mempelajari filsafat Stoa dan mencari kebijaksanaan. Salah satu guru pertama dan terpentingnya, filsuf Stoa Attalus mengatakan bahwa manusia bijak meski tidak memiliki kekuatan, baik secara politik maupun kekayaan, ia adalah seorang raja dalam arti yang sebenarnya. Setelah beberapa tahun kemudian, Seneca menjawab ajaran guru filsuf Stoic-nya: "I often felt sorry for mankind and regarded Attalus as a noble and majestic being   above mortal heigh ... Whenever he castigated our pleasure -- seeking lives, and and extolled personal purity, moderation in diet, and a mind free from unnecessary, not to speak of unlawful, pleasures, the desire came upon me to limit my food and drink ... And later, when I returned to the duties of a citizen, I did indeed keep a few of these good resolutions."Pada saat yang bersamaan karya Quintus Sextius, filsuf hidup yang seabad lalu, yang pertama kali mendirikan sekolah filsafat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun