Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Perolehan Suara dan Memori Peristiwa Kerusuhan Mei 98 (Studi Kasus pada PArtai Gerindra di Pemilu 9 April 2009)

29 September 2010   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

kerangka pengetahuankerangka pengetahuan

---------------------------- ----------------------------

hubungan produksihubungan produsi

---------------------------- ----------------------------

infrasruktur teknisinfrastruktur teknis

Keterangan:

(Momen produksi media) dibingkai seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide; praktik pengetahuan yang menyangkut rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi profesional, pengetahuan institusional, definisi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi program melalui struktur produksi ini. Lebih lanjut, meskipun struktur produksi televisilah yang memulai wacana televisi, ia bukan merupakan sistem tertutup. Struktur produksi televisi mengangkat topik, reportase, agenda, peristiwa, individu, citra khalayak, definisi situasi dari sumber-sumber lain dan formasi-formasi diskursif lainnya dalam struktur politik dan sosial kultural lainnya yang lebih luas di mana struktur produksi televisi merupakan bagian yang dibedakan. Dengan demikian, para prefosional media yang terlibat didalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial mentah di-encoding dalam wacana. Kemudian segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana ‘bebas dikendalikan’ maka suatu pesan menjadi terbuka, misalnya bagi permainan polisemi. Setelah itu terjadi proses decoding, yaitu masyarakat menginterpretasikan atau memetik suatu makna yang terdapat dalam pesan tersebut dengan caranya sendiri. Lalu proses decoding ini ditangkap oleh para encoder sehingga menjadi encoding baru dan begitu seterusnya. Dengan demikian, suatu pesan yang di-encoding oleh encoder merupakan proses terbuka dan beroperasi dalam kondisi produksinya yang berbeda sehingga dapat menjadi sebuah encoding baru setelah di-decoding masyarakat.

David Morley memberikan rangkuman untuk memahami model encoding dan decoding Hall:

1.Produksi pesan penuh makna dalam wacana televisi merupakan pekerjaan yang problematis. Peristiwa yang sama bisa di-encoding melalui lebih dari satu cara sehingga kajian televisi di sini berkenaan dengan bagaimana dan mengapa struktur dan praktik produksi tertentu cenderung menghasilkan pesan tertentu yang mewujudkan maknanya dalam bentuk-bentuk yang berulang.

2.Pesan dalam komunikasi sosial selalu bersifat kompleks dalam hal struktur dan bentuk. Ia senantiasa memuat lebih dari satu ‘pembacaan’ potensial. Pesan menawarkan dan menganjurkan pembacaan tertentu atas pembacaan lainnya, namun pesan tidak bisa sama sekali menjadi tertutup di sekitar satu pembacaan. Pesan tetap bersifat polisemik.

3.Aktivitas ‘memetik makna’ (decoding) dari pesan juga merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan ‘natural’ tampaknya aktivitas itu. Pesan meng-encoding satu cara bisa dibaca dengan cara yang berbeda.

Kembali pada tulisan Nia Dinata di rubrik kolom “Obrolan A-Politis” di Koran Kompas tertanggal 16 Januari 2009 dengan judul Demokrasi Tanpa Pesta, timbul suatu pertanyaan apakah ini ada hubungannya dengan memori sosial masyarakat terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998? Meskipun sampai saat ini belum ada keputusan pengadilan mengenai siapa dalang yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa yang banyak memakan korban itu, namun isu yang berkembang dan diyakini masyarakat selama ini bahwa Prabowolah otak di balik peristiwa ini.

Memori Sosial Peristiwa Kerusuhan Mei 98

Peristiwa kerusuhan Mei 98 sebenarnya merupakan satu dari serangkaian peristiwa yang muncul sebagai dampak dari krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara sekitar Agustus 1997. Ketika itu Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak terparah akibat krisis ekonomi. Hal ini ditandai dengan melemahnya kurs rupiah yang sempat menyentuh level Rp 18.000, harga-harga kebutuhan pokok (sembako) menjadi naik, dan banyak pengangguran terjadi di mana-mana karena banyak perusahaan yang mengalami gulung tikar atau sekalipun bisa bertahan mereka melakukan pengurangan karyawan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi. Situasi tersebut mendorong rakyat untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatan yang dipegangnya selama 32 tahun. Sementara di lain pihak, sang penguasa sendiri tidak ingin mundur. Soeharto berusaha melakukan upaya represif dan subversif dengan cara menangkap lawan-lawan politiknya, termasuk menculik 14 aktivis yang dinilai vokal terhadap kebijakan pemerintah.

Lalu tepatnya pada tanggal 12 Mei 1998 mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi untuk menuntut Soeharto mundur. Namun, aksi tersebut justru dibalas dengan penembakan yang dilakukan oleh aparat militer sehingga mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak akibat terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada. Peristiwa ini kemudian diperingati sebagai Tragedi Trisakti dan keempat mahasiswa yang tewas itu dikenang sebagai Pahlawan Reformasi. Media telah sukses memblow-up berita kematian keempat mahasiswa Trisakti ke hadapan publik sehingga berita tersebut menjadi pembicaraan di mana-mana, bahkan di luar negeri sekalipun. Padahal ketika itu pengaruh Soeharto masih dapat dikatakan kuat, meskipun mulai melemah.

Keesokan harinya rentang waktu antara pukul 08.00 sampai dengan pukul 10.00 terjadilah kerusuhan di Jakarta yang kemudian meluas hingga ke berbagai daerah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kerusuhan Mei 98. Saat itu situasi kota Jakarta sangatlah mencekam. Banyak mal-mal atau toko-toko yang dimiliki warga Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran oleh massa sehingga membuat banyak pemilik toko yang bukan berasal dari etnis Tionghoa memasang tulisan di depan toko mereka "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" dengan maksud agar toko mereka tidak dijarah. Selain itu, banyak perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan secara massal. Akibatnya, banyak dari mereka yang selamat memilih untuk pergi mengungsi ke Singapura dengan memboyong seluruh anggota keluarganya. Dengan demikian, etnis Tionghoa adalahkorban yang paling menderita akibat peristiwa tersebut. Mereka tidak hanya kehilangan harta, tetapi juga menanggung derita, aib, dan malu yang masih dirasakan hingga kini. Namun tak hanya etnis Tionghoa saja yang menjadi korban, melainkan juga dari kalangan pribumi. Banyak dari mereka yang tewas terpanggang akibat terjebak dalam mal yang “diduga” sengaja dibakar. Para karyawan sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Aktivitas belajar mengajar pun sengaja dihentikan dan murid-murid pulang lebih awal dari biasanya. Atau dengan kata lain, Jakarta tak ubahnya seperti kota mati yang tak berpenghuni.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan banyak korban. Berdasarkan penemuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tercatat sebanyak 288 korban meninggal, 101 korban luka, 92 perempuan menjadi korban perkosaan, dan ribuan rumah rusak terbakar. Serta negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,5 triliun.[6]

Selain itu, TGPF juga menemukan fakta menarik jika peristiwa kerusuhan tersebut merupakan suatu peristiwa yang telah disusun secara sistematis, terorganisasi, dan terkoordinasi. Hal ini terlihat jelas dari pola aksi yang dilakukan, sepertiadanya pembagian tugas tertentu di antara para anggotanya: Ada “kristal massa”[7], yaitu para pemicu kekerasan massa, penghubung antara kelompok yang satu dengan yang lain, informan-informan dan para pelaksana yang hanya mengikuti perintah dari atas. Banyaknya massa yang diduga berasal dari tentara dengan ciri-ciri berambut cepak dan memiliki kemampuan terlatih, misalnya, menggunakan alat kekerasan, bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transport (sepeda motor, mobil/jeep) dan sarana komunikasi (HT/HP). Mereka telah menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotof, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Mereka ini bertugas memprovokasi warga untuk mulai melakukan perusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Dan setelah warga berhasil diprovokasi, maka meletuslah peristiwa kerusuhan itu. Massa telah bertindak sangat destruktif. Mereka melakukan penjarahan, perampasan, dan pemerkosaan. Mereka telah melakukan suatu perbuatan yang berada di luar norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, massa yang gerakannya telah dipersiapkan (massa tertutup) mendapat tambahan banyak anggota baru dalam aksinya sehingga jumlah para pelaku menjadi membengkak dengan sangat cepat. Siapa saja yang berdiri di sekitar aksi massa itu “tersedot” ke dalam massa yang jumlah anggotanya makin banyak ini (massa terbuka).

Lalu timbul suatu pertanyaan mengapa peristiwa kerusuhan Mei 98 bisa terjadi?

F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) mengatakan bahwa akar kekerasan massa (the conditions of posiblity), termasuk Peristiwa Kerusuhan Mei 98, disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, akar epistemologi, yaitu korban dilihat sebagai sosok yang lain (the other) dari pelaku. Hal ini disebabkan hasil konstruksi pikiran sang “aku” terhadap “kamu” sehingga korban dipandang bukan sebagai sesama manusia, melainkan sebagai musuh yang harus dibunuh. Etnis Tionghoa dipandang sebagai sosok yang lain (the other), warga negara yang bukan pribumi sehingga melakukan penjarahan, perampasan sekaligus pemerkosaan terhadap mereka bukanlah sesuatu hal yang salah. Dengan demikian, tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia itu sendiri. Kedua, akar antropologi, yaitu melemah atau tidak adanya sistem nilai yang dianut masyarakat sehingga setiap individu mengalami disorientasi. Akibatnya, timbul rasa panik yang pada akhirnya mendorong untuk melakukan tindakan yang destruktif. Dengan demikian, melemah atau tidak adanya sistem nilai yang dijadikan pegangan memunculkan anggapan bahwa membunuh orang lain yang berada di luar kelompok atau yang melawan kita merupakan suatu keharusan. Ketiga, akar sosiologi, yaitu kondisi-kondisi struktural ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial sehingga membuat individu yang merasa dimarjinalkan, didiskriminasikan, dan direpresikan merasa terisolasi. Sebagai gantinya, mereka mengisi kekosongan dalam dirinya itu dengan cara bergabung pada kelompok di luar dirinya dan bersama-sama melakukan tindakan destruktif sebagai upaya bentuk penegasan diri egonya yang panik melalui penegasan kelompok.

Kemudian timbul pertanyaan siapakah otak di balik peristiwa Kerusuhan Mei 98? Meskipun hingga saat ini belum ada keputusan hukum mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab, namun isu yang berkembang selama ini jika Prabowo Subiantolah orangnya. Ia yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kostrad “diduga” kuat mendalangi kerusuhan Mei 1998 dengan tujuan untuk mendiskreditkan rivalnya, Pangab Wiranto, sekaligus mendapat simpati dan wewenang lebih dari Presiden Soeharto yang sekaligus mertuanya bila kelak ia mampu memadamkan Kerusuhan, meskipun pada akhirnya gagal. Sementara dalam beberapa wawancara di beberapa koran nasional, ia membantah keras tuduhan tersebut. Justru ia merasa telah "dijebak" oleh Wiranto. Ia malah mempertanyakan sikap rivalnya itu yang tidak berada di ibukota saat meletus kerusuhan Mei 1998 dan bersikeras membawa sejumlah perwira tinggi ke Malang.

Kini setelah lebih dari satu dekade berlalu, ingatan-ingatan para korban, keluarga korban, maupun penduduk Jakarta itu sendiri terhadap peristiwa kerusuhan Mei 98 ternyata masih tersimpan dengan baik. Seperti contoh kisah yang dituturkan Ruyati (59), warga Penggilingan, Jakarta Timur, yang harus kehilangan anak sulungnya, Eten Karyana (32), karena tewas terpanggang di Yogja Departement Store.[8] Ia dan suaminya, Darmin (64), tak henti-henti menangis saat mendengar putranya menjadi korban terbakar hidup-hidup di Yogya Department Store. Ia semakin yakin saat melihat sebuah stasiun televisi menayangkan sebuah kartu tanda penduduk (KTP) milik Eten yang masih utuh, tak terbakar. Kemudian Leman Sulaeman, menantunya, bergegas pergi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tepat 15 Mei 1998 pukul 16.00, Leman kembali ke rumah dan berdiri di depan pintu rumah dengan membawa sebuah kardus mi instan. Leman tak berkata apa-apa, tetapi airmata deras mengalir di pipinya. Leman pun berjalan maju dan menyerahkan kardus itu kepada Darmin. Kardus pun dibuka. Isinya, abu dari jasad Eten Karyana. Lalu Ruyati menjerit histeris, "Ya Allah, astagfirullah, kenapa bisa begini....". Kemudian ibu itu pingsan. Kedua orang tua itu tak pernah menyangka jika putra sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu kembali dalam bentuk abu. "Ternyata perkiraan kami salah. Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kesakitan yang ia alami," ujar Ruyati.

Peristiwa itu telah meninggalkan trauma yang sangat mendalam sehingga kemunculan sosok Prabowo Subianto dalam iklan Partai Gerindra yang ditayangkan di televisi secara berulang-ulang telah mendorong ingatan-ingatan buruk yang selama ini sengaja direpresi oleh mereka muncul kembali. Mereka menjadi teringat akan situasi yang mencekam saat Peristiwa Kerusuhan Mei 98 terjadi. Mereka menjadi ingat akan anggota keluarga, saudara, teman, atau bahkan diri mereka sendiri yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Sementara di lain pihak, mereka ingin sekali dapat melupakan mimpi buruk itu. Tulisan Nia Dinata dalam rubrik kolom Koran Kompas “Obrolan A-Politis” cukup menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana memori sosial masyarakat yang tinggal di Jakarta terhadap peristiwa Kerusuhan Mei 98 ternyata masih melekat kuat dalam pikiran bawah sadar (unconscious) mereka. Di situ ia menulis: “Kok enggak malu ya? Apa dia (Prabowo) pikir warga negara Indonesia ini pada menderita amnesia semua?”. Itu artinya, penolakan masyarakat terhadap sosok Prabowo lebih disebabkan karena adanya memori sosial yang selama ini sengaja direpresi oleh mereka akanperistiwa Kerusuhan Mei 98. Boleh jadi, karena memori sosiallah yang menyebabkan perolehan suara Partai Gerindra hanya mencapai 4,3%.

[1]Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 27/04/09

[2]Sumber: www.kompas.com

[3]Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 27/04/09

[4]Riyanto, Bedjo. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870 – 1915)(Yogjakarta: Tarawang, 2000), hlm. 15.

[5]Sumber www.kompas.com

[6]Sumber: www.kompas.com

[7] Istilah ini didefinisikan oleh Elias Caneti dalam karyanya berjudul Masse und Macht dan dikutip oleh F. Budiman Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror, dan Trauma pada hlm. 85

[8] Sumber: www.kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun