Banyak orang tua dengan ekonomi pas-pasan memilih presiden penerus dengan program makan siang gratis agar uangnya bisa dialihkan untuk kebutuhan lain anak.
Tak sedikit mereka yang lebih mampu memilih sosok yang sama juga karena program ini dianggap paling realistis, humanis, dan menyentuh kebutuhan mendasar pada anak-anak. Ketika hendak direalisasikan, banyak pihak menangis terjerit-jerit termasuk pemilihnya sendiri.
Loh, kok bisa?
Sejak awal, program makan siang gratis ini sudah memicu pro dan kontra bahkan sampai disorot oleh media asing.
Karena kita bukan politisi dan tidak sedang membahas aspek politisnya, lupakan sejenak soal kemungkinan dibentuknya aparatur baru untuk mengurusnya, potensi kebocoran anggaran, sampai defisit anggaran, utang negara, dan pajak yang siap membengkak.
Ya, naiknya pajak tetap memberatkan para pengusaha dan memangkas pemasukan rumah tangga juga sih.
Saat ini, harga beras sedang naik dengan persediaan yang sangat terbatas di pasar. Jika selama pandemi kemarin kita bisa membeli dua karung beras 5 kg per hari dan dengan harga sesuai batas Pemerintah, sekarang harga yang lebih mahal pun hanya boleh membeli satu karung beras 5 kg per hari.Â
Sudah demikian, takaran beras dan air yang sama kini menghasilkan nasi yang lebih sedikit, misalnya beras yang biasanya cukup untuk makan kami sekeluarga sebanyak tiga kali kini hanya cukup untuk dua hari. Untunglah, rasa nasinya masih tetap terjaga, tidak seperti ketika pandemi dengan rasa nasi yang jatuh signifikan.
Sebelum harga beras naik, satu bungkus nasi putih di warteg yang bisa dinikmati berdua dijual seharga lima ribu Rupiah saja. Sekarang, saya harus menebusnya dengan harga delapan ribu Rupiah.
Agar pelanggan tak lari, kenaikan harga tidak banyak dipilih dan solusi mengurangi porsi nasi menjadi solusi. Sebungkus nasi Padang yang dulu nasinya cukup untuk berdua kini pas-pasan untuk makan sendiri.