"Emoh, tak mau. Pulang-pulang jadi guru atau paling mentok dosen, tak mau."
Adu mulut terdengar dari sepetak kamar rumah susun di pinggiran ibu kota. Seorang ibu tunggal baru saja pulang mendampingi putra tunggalnya menyajikan skripsi. Sehari-hari tak dilihatnya matahari di dekat rumah, bergonta-ganti armada transportasi umum dan berdesakan di dalamnya hanya libur di akhir pekan dan tanggal merah. Di balik dinginnya kursi di gedung pencakar langit, siksaan berupa tumpukan pekerjaan dan amarah atasan, termasuk tumpahan emosi yang bukan kesalahannya, tak ada habisnya. Kerja lebih hingga larut malam juga hanya berhadiah ucapan terima kasih.
Lahir, besar, dan kuliah di luar daerah, merantau karena penempatan kerja, ibu bertemu dengan rekan sekantornya yang kemudian menjadi si ayah. Tak sempat rayakan ulang tahun sang anak, ayah dipanggil Sang Kuasa karena kanker usus. Terbatasnya pendapatan membuat ayah banyak mengonsumsi mie instan dan tiadanya warisan harta membuat ibu harus mengadakan segalanya sendiri sekaligus membesarkan putra. Tak cukup dengan gaji, akhir pekan masih membanting tulang berkeliling menjajakan makanan yang sengaja dimasak lebih demi memberikan segalanya yang terbaik untuk satu-satunya harapan yang tersisa.
Ibu bangga dengan mereka yang gelarnya berderet panjang, apalagi gambaran kepintaran dan masa depan cerah seorang profesor. Berbeda dengan dirinya yang lulusan sarjana, gaji tak jauh-jauh dari UMR. Â Tak jarang meloncat ke sana dan kemari dilakukan hanya agar kenaikan gaji tak ketinggalan dengan anak baru lulus yang langsung diberi UMR.
"Daripada bekerja juga habis di jalan, mending sekolah lagi. Seribu purnama kita bekerja, belum tentu bisa ke luar negeri. Dicoba saja, siapa tahu Pemerintah mau mendanai seribu purnama tinggal di luar negeri."
Ibu tahu putranya cukup pandai, nilainya selama sekolah dan kuliah mengesankan dengan deretan sertifikat dibawanya pulang dari kemenangan beradu otak. Merasa masih sanggup mendanai biaya tes bahasa angin dan berjuang sebatang kara menghidupi dapur, Negeri Jiran disodorkan agar putra bisa lanjut kuliah paling tidak sampai menjadi master dengan biaya hidup dari uang saku negara.
Lain pikiran ibu, lain pula pikiran anak. Putra kasihan dengan sang ibu yang sudah tua dan ingin segera bertukar posisi untuk memberi makan. Putra punya mimpi untuk bisa keluar dari rumah susun dan bisa menempati rumah tapak, meski tak perlu gedong seperti orang-orang kaya. Dia masih bujang, belum satupun anak gadis pernah didekatinya, tetapi mimpinya mampu membangun keluarga sejahtera sudah terbentang.
"Bagus. Ibu bicara, kamu ke kamar mandi. Tidur saja di kamar mandi!"
Putra menghindari berdebat lebih jauh dengan ibu, menghindari angkara murka sang ibu meskipun kuliah lagi adalah pilihan dan menolaknya bukan bentuk durhaka pada ibu. Dari balik sempitnya kamar mandi, jari jemari menari di layar ponsel sambil melihat-lihat lowongan kerja. Dosen penguji hanya meminta sedikit perbaikan terkait ejaan dan pemilihan kata di skripsinya, tetapi jelas tidak nyaman menggunakan laptop di kamar mandi.
Mulut yang kering di tengah hari yang panas tak membuatnya bertahan lama, secangkir air putih pun diseruput di dapur. Ibu pun mengalah, membawakan laptop ke meja makan dan coba mencairkan suasana dengan tetap teguh pada pendiriannya.