"Bukannya kamu tidak boleh cari kerja. Tetap coba-coba cari beasiswa kan boleh juga, daripada sudah tua dan punya bontot nanti susah dan malas belajar. Kalau tidak dapat beasiswa, lanjutkan terus kerjanya. Tapi lebih baik ya dapat, jangan seperti ibu terus bekerja sama orang sampai tua. Punya pendidikan lebih bisa dapat jabatan lebih muda, uang lebih banyak untuk hidup enakan dan usaha."
Bukan tanpa alasan, rekan kerja ibunya yang jauh lebih muda dan lulus master dari luar negeri setiap hari berjuang bersama ibunya pulang dan pergi kerja. Kuliah master juga bukan karena keinginannya, keterbatasan dana mengantarkannya ke pendidikan sarjana sebagai guru dan mentok-mentok jadi guru honorer dengan gaji tak sampai lima lembar uang merah sebulan. Tanpa adanya keluarga, beliau memilih tinggal di kontrakan petak tak jauh dari tempat tinggal mereka. Dua rekan kerja ini berkumpul di dapur setiap pagi untuk mempersiapkan bekal mereka dan si putra, membeli makan di luar mahal dan tidak ada makan siang gratis baik di kantor maupun di sekolah.
"Nasibnya berubah bukan karena sekolah tinggi, suaminya saudagar hasil dijodohkan keluarga di kampung."
Bagaimana bisa tak tahu, berakhir pekan pun sering dilalui bersama agar hemat biaya. Namanya ibu-ibu berkumpul, curhat pasti tercurah. Setelah melangsungkan pernikahan di mana si putra juga turut hadir, sang lulusan master mengundurkan diri dan pulang bersama sang suami ke kampung.
Memori akan "dijajahnya" sang dosen oleh teman-teman berduit seperkuliahan juga sama sekali belum pudar. Sering mangkir kuliah, datang pun sangat terlambat tetapi tetap dihitung hadir. Di kelas pun kerjanya bermain ponsel berlogo apel, di tengah jalan menjemput teh susu dengan boba yang dibelinya dari kang ojek online, tetapi tidak pernah dihukum karena berani menegurnya saja malah diancam penghentian donasi ke universitas. Tugas kelompok disuruhlah teman lain mengerjakannya dengan imbalan uang biru atau merah, tak tahu siapa yang mengerjakan tugas pribadinya tapi tahu-tahu terkumpul. Lebih sering nongkrong di kafe dan nilai ujian juga pas-pasan, tetapi bisa lulus kuliah tepat waktu. Maklum, mereka sanggup membayar uang kuliah lebih tinggi dan juga menjadi donatur universitas. Dosen pun sering diberinya amplop dan ulang tahunnya tak pernah luput dirayakan dengan hadiah nasi tumpeng serta kue.
"Kuliah susah-susah, cuma buat nurut sama cukong. Gak ada cukongnya, makan siang nasi, kangkung, tahu, sudah sangat bergizi. Masak kalah sama makan siang gratis anak sekolah, rugi dong."
"Rugi memang kalau kamu bandingkan dengan bos ibu yang tamatan SD, banyak mengandalkan bahasa daerah, dan bahasa Indonesianya masih sering kosakatanya 'itunya-itunya', tetapi uangnya bisa banyak. Paling tidak, kamu tidak usah susah-payah bergumul dengan panas dan hujan di lapangan, menjadi preman dan berjuang mendekati lingkaran kekuasaan, hanya demi sesuap nasi."
"Kalau dapat beasiswa yang setelah lulus boleh bekerja di luar negeri, masih mending, Bu. Ini disuruh pulang, gajinya sama saja. Rugi umur, mending langsung kerja saja."
Sekian lama hidup susah, sang putra ingin ia dan ibunya bisa hidup enak. Sang ibu mendambakan putranya tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas dan berguna, lain halnya dengan putranya yang sebatas ingin membalik nasib. Jangankan mengikuti organisasi yang berorientasi pada perjuangan atas kebutuhan masyarakat sepanjang sekolah dan kuliah, berita politik pun tak pernah mau dilihatnya. Sudah cukup baginya melihat orang-orang dengan deretan gelar akademik ujung-ujungnya berebut kursi anggota dewan di Senayan dan tak sedikit berakhir mengenakan rompi oranye.
Ponsel di atas meja berdering. Pesan seorang dosen masuk menawarkan lowongan kerja dari perusahaan asing dengan gaji dan fasilitas menggiurkan dengan syarat fokus bekerja dan tidak kuliah lagi selama tiga tahun pertama masa kerja, tentu saja menarik minat si putra dan dia spontan mengirimkan riwayat hidup yang telah lama dipersiapkannya. Langit pun tiba-tiba menggelap dan menumpahkan air matanya.
Entah karena semesta turut bersedih bersama ibu yang cita-citanya terancam tak kesampaian, entah sekadar tak kuat lagi memikul beban awan yang dibawanya. Seketika meja itu pun hening, penghuninya sigap bangun menyelamatkan jemuran pakaian di balkon dari serangan tampias dan angin kencang.