Di dua sisi pilar A tersedia alat semacam joystick untuk mengatur kaca spion. Ini lebih baik dari Datsun GO yang harus membuka jendela dan melipat serta menaikturunkan spion secara manual, tetapi merepotkan pengemudi ketika tidak memiliki "kenek" dan seketika manfaat tombol power window di tengah mobil itu menjadi nonsense. Hal ini semakin terasa menyedihkan ketika Brio Satya S dan Ayla 1.2 X sudah menyediakan kaca spion elektrik yang bisa diatur dari sisi pintu pengemudi.
Kaca belakang masih diengkol, ya kalah lagi dengan Brio Satya S dan Ayla 1.2 X. Bagi kalian yang senang meninggikan atau malah melepas headrest belakang, ada kabar buruk bahwa hal ini tidak bisa dilakukan di S-Presso ketika Brio dan Ayla bisa. Pintu belakang tidak disertai cup holder seperti Brio dan Ayla. Untungnya, paling tidak dia memiliki hand grip belakang seperti Ayla tetapi tidak pada Brio.
Fitur tanggung dengan harga yang tidak tanggung-tanggung
S-Presso sebenarnya bisa hadir dengan penilaian tidak seburuk ejekan warganet saat ini, yaitu titel sebagai bajaj, mobil "JDM" (Jaipur Domestic Market), dan mobil overpriced. Menjual mobil dengan mesin 1000cc ketika Ayla (bersama saudaranya Agya) dan Brio Satya sudah berfokus pada mesin 1200cc juga tidak salah, kenaikan harga bahan bakar tentu membuat konsumen mendambakan mobil yang seirit mungkin "minum bensin" khususnya jika hanya digunakan di dalam kota. Nah, permasalahan S-Presso terletak pada fitur tanggung dengan harga yang tidak tanggung-tanggung.
S-Presso dibekali dengan defogger kaca belakang, tetapi fog lamp yang sama-sama berfungsi di kala kabut datang tidak disertakan dan rear wiper juga tidak ada. Heater diberikan untuk menghadapi kedinginan di daerah dingin, tetapi konsumen perkotaan yang lebih sering menghadapi panas tidak diberikan door visor. Headlamp juga belum mengandalkan lampu LED alias masih halogen dan kalah dengan kedua pesaingnya.
Head unit boleh touch screen, tetapi tidak memiliki fitur untuk memutar DVD jadi sebenarnya layar besarnya tidak penting-penting amat. Mengatur volume dan siaran melalui gagang setir tentu lebih aman dibandingkan tangan kiri sibuk merogoh ke head unit. Kecuali Suzuki mau membenamkan kamera parkir juga, itu baru keren.
Pengemudi dan "kenek" saling bisa membuka jendela satu sama lain dari panel tengah mobil, tetapi penumpang masih harus mengengkol di belakang. Kaca spion bisa diatur arah pandangannya dari dalam mobil, tapi masih menggunakan tuas dan tidak tersentralisasi sehingga kurang ramah untuk solo commuters. Melipatnya pun masih manual dan tidak dapat dilakukan dari dalam mobil.
Mobil ini sudah dilengkapi dual SRS Airbag, tetapi nilai uji tabrak NCAP masih kalah satu bintang dari Agya 1.2 G yang harganya Rp3 juta lebih mahal (ingat mesinnya lebih besar). Titik lemah mobil ini adalah perlindungan duduk anak dan solusi yang bisa cukup membantu adalah pemberian fitur ISOFIX di kursi belakang. Keberadaan hand grip di belakang jadi tidak terasa maksimal tanpanya.
Terakhir kembali lagi ke aksesoris sporty itu. Penyebab mobil ini dipandang jelek ya karena keberadaannya, khususnya tingginya itu dan warnanya hitam, kecuali kita membeli varian warna granite gray atau white menjadi two-tone yang pas. Arch cladding tidak perlu setinggi itu dan tidak perlu aksen krom, lower radiator cover juga tidak perlu setinggi itu dan mungkin lebih banyak orang suka jika cukup diberikan bumper depan sewarna bodi plus front skid plate beraksen krom. Lihat saja Rocky-Raize yang cukup banyak penggemarnya itu, sesuaikan sedikit lagi penampilannya bisa jadi S-Presso siap mengancam peminat yang sebenarnya tidak butuh tenaga mesin sebesar itu!
Untuk semua fitur tanggung ini (catat bahwa bukan minim fitur tetapi tanggung), harga S-Presso itu tidak tanggung-tanggung tingginya. Memang dia bukan LCGC dan bukan dirakit di Indonesia, tetapi sulit membangun kebanggaan atas mobil built-up dari India, segmentasi harganya membuat dia pasti disandingkan dengan LCGC brand lain, dan mesinnya yang lebih kecil tentu diekspektasikan bisa menghemat biaya. Apalagi Suzuki kalah pamor dengan Toyota, Daihatsu, dan Honda di segmen ritel, tentu dia diharapkan harganya lebih terjangkau.
Jika ke depannya S-Presso bisa bertahan dan dilokalisasi, Suzuki harus bersiap memodifikasinya agar lebih sesuai terhadap kebutuhan dan selera masyarakat Indonesia. Pangkas fitur yang tidak diperlukan dan tidak disukai, berikan fitur lain yang lebih penting dan disukai, serta buat harganya menjadi kompetitif. Lebih baik lagi, jika harganya bisa turun sekitar Rp20-25 juta agar kompetitif melawan Ayla 1.0 X. Jangan sampai S-Presso menjadi Celerio berikutnya yang semakin membuat sejarah kelam untuk Suzuki Indonesia, menjual produk yang tidak laku dan tidak bertahan lama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H