Lalu lintas semakin sepi, ekonomi kita melambat. Dari tahun ke tahun, Rupiah semakin lemah dan harga kebutuhan terus naik. Teknologi berkembang pesat sedemikian rupa sehingga struktur ekonomi banyak berubah dan terjadi redistribusi pendapatan secara signifikan. Perang dagang terjadi antara dua negara dengan perekonomian yang maju di dunia, apakah kita akan terimbas? Bagaimana nasib kita kelak? Jangan sampai kisah 2008, apalagi 1998 terulang. Itulah kekhawatiran masyarakat awam yang sering masuk ke telinga saya.
Mereka tentu kapok dengan kejadian di masa lalu itu. Peristiwa kelam yang menimbulkan trauma luar biasa di 1998, tidak hanya mengubah struktur ekonomi besar-besaran tetapi keseluruhan hidup di Tanah Air. Belum benar-benar kembali kejayaan kita, hantaman kasus mortgage Lehman Brothers di Amerika Serikat lagi-lagi menyeret kita bersama negara lainnya dalam krisis. Apakah kita masih bisa bersama dalam kerangka globalisasi atau lebih baik mengurung diri kembali ke sistem tradisional?
Bagi para pembelajar makroekonomi, tentu kita tahu bahwa globalisasi dan perkembangan teknologi membuat perekonomian begitu dinamis, naik-turun dengan sangat cepat. Sekalipun kita menutup diri dari dunia internasional, kita tetap tak bisa lari dari pengaruhnya. Masyarakat harus bisa beradaptasi dengan kemajuan yang ada untuk bertahan hidup dan memajukan negeri. Di sisi lain, Pemerintah melalui Bank Indonesia berperan menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK).
Meski namanya sederhana, lagi-lagi masyarakat awam bingung. Pernah mendengar singkatan ini, tepatnya ketika dulu komite SSK menetapkan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik yang harus diselamatkan oleh Pemerintah dan sampai saat ini kasus ini masih terus diperbincangkan. Apa itu SSK?
Mengenal stabilitas sistem keuangan
Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, negara membutuhkan stabilitas moneter dan hal ini tak lepas dari stabilitas sistem keuangan yang terdiri dari perbankan serta sistem pembayaran. Lembaga keuangan harus sehat, tingkat suku bunga tak boleh terlalu ketat, dan jangan sampai ada kejadian gagal bayar. Penetapan harga, alokasi dana, dan pengelolaan risiko haruslah berfungsi dengan baik. Dengan demikian, bisa disimpulkan stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik serta kejutan ekonomi harus diserap sehingga mampu mencegah gangguan perekonomian terlebih lagi krisis moneter.
Tantangan stabilitas sistem keuangan dalam kerangka interkoneksi
Sistem keuangan nasional terdiri atas banyak lembaga keuangan bank dan nonbank beserta nasabahnya baik rumah tangga maupun korporasi. Semakin banyak proporsi dengan profil risiko yang sama, semakin besar risiko meledaknya masalah likuiditas yang mereka akibatkan pada lembaga keuangan. Ketika lembaga keuangan saling berinvestasi dan/atau meminjamkan uang, guncangan di salah satunya bisa mengakibatkan efek domino terhadap keseluruhan industri.
Tantangan stabilitas sistem keuangan menghadapi keuangan global
Masalah semakin kompleks ketika kita juga berhubungan dengan sistem keuangan internasional. Ketika Rupiah melemah, kewajiban utang luar negeri yang harus dibayar melonjak dan demikian pula dengan risiko gagal bayarnya, terlebih lagi selama ini korporasi lebih menyukainya karena menganggap biaya pinjaman lebih rendah. Bahkan, meski tidak ada masalah dengan perekonomian domestik, sedikit saja sentimen negatif dari negara lain datang bisa langsung memberikan tekanan.
Sentimen ini bahkan bisa jadi hanya berupa rumor. Indonesia dengan kepemilikan asing pada instrumen investasi yang cukup besar memiliki kerentanan dalam situasi ini, terutama ketika terjadi kejutan eksternal dalam perekonomian global (global spillover) yang mendorong investor asing mengurangi eksposurnya pada portofolio domestik secara bersamaan (sudden reversal). Terjadilah tekanan jual yang besar dan harga aset investasi domestik berguguran.