Indonesia memiliki 14,9 juta hektar lahan gambut yang memiliki berbagai fungsi, meliputi penambat karbon, indikator perubahan iklim, membantu rekonstruksi gambaran ekologi di masa lalu, sampai sumber energi. Ironisnya, lahan gambut justru dikonversi untuk kepentingan lain dengan cara yang tak seharusnya, yaitu dibakar. Ini terjadi setiap tahunnya, menghasilkan kerugian tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga merembet sampai ke negara tetangga.
Masyarakat dan lingkungan begitu membutuhkan restorasi lahan gambut untuk mengembalikan fungsinya ke semula dan menghadirkan sumber penghidupan bagi makhluk hidup.
- Berbagai spesies flora dan fauna (termasuk mereka yang sudah langka) mendapatkan tempat tinggal yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka sehingga keanekaragaman hayati terjaga. Beberapa contoh di antaranya adalah ramin, keluarga meranti, kempas, kantung semar, beruk, kokah, dan buaya sinyulong.
- Daya menahan air yang tinggi hingga 13 kali lipat dari bobotnya mampu menyangga hidrologi area di sekelilingnya. Dengan demikian, air dapat tersimpan tanpa perubahan keasaman yang signifikan dan sudah melalui penyaringan dari limbah berbahaya secara alami untuk kebutuhan masyarakat dan banjir dapat dicegah.
- Lahan gambut mampu menambat karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut di Indonesia mampu menyimpan karbon setara emisi 17-33 miliar mobil pribadi setiap tahunnya. Karbon ini disimpan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah sehingga dapat dimanfaatkan kemudian sebagai sumber energi. Konsekuensinya, ini harus benar-benar dijaga sehingga tidak terbakar dan tidak mencemari atmosfer, potensi pencemarannya hingga 45% emisi gas rumah kaca total.
- Lahan gambut yang terjaga memberikan kelancaran pada masyarakat dengan pekerjaan di hutan, yaitu beternak, berladang, berburu, menangkap ikan, dan memanfaatkan produksi kayu. Misalnya, menanam sengon bisa memberikan keuntungan mencapai Rp200 ribu untuk satu pohon. Dengan niat dan tekad yang kuat, melakukan agroforestri sambil menanam sengon bisa memberikan keuntungan hingga Rp11 juta per bulan, jauh lebih besar dibandingkan menjadi buruh pabrik di Jakarta.
Mengingat kebutuhan dana yang tinggi (Rp30 juta per hektar lahan yang direstorasi), BRG membutuhkan keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut bergerak di tujuh provinsi : Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Restorasi ini tidak dilakukan secara asal-asalan, tetapi didukung dengan rancangan yang berkelanjutan dan riset pendukung sehingga hasilnya optimal dan tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat sekitar.
Sejumlah lahan yang layak untuk diikutsertakan boleh diolah oleh masyarakat dengan tujuan menjaga kondisi lahan dan meningkatkan hajat hidup mereka. Lahan dijadikan media tanam, dijaga tinggi muka airnya sehingga senantiasa basah, dan ditanami tanaman pangan yang tak mudah terbakar serta tak merusak lahan (species adjustment), misalnya jagung, sagu, dan sayur-sayuran. Selain menjadi media tanam, lahan ini juga bisa dimanfaatkan untuk beternak, misalnya kegiatan peternakan sapi Bali di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI