"Begitu saya melihat sisa pokok pinjaman KPR, saya terduduk lemas. Bank konvensional yang saya pikir murah, ternyata salah besar. Saya pun memindahkannya ke bank syariah."
Buat pasangan yang baru menikah, rumah adalah impian yang harus diwujudkan. Namun mencari rumah yang sesuai dengan keinginan hati dan kantong bukanlah hal mudah.
Setidaknya itulah yang kami alami di awal pernikahan, 2010 silam. Hampir tiap akhir pekan saya dan suami berkeliling mencari rumah yang cocok, baik desain, lingkungan, hingga keuangan. Setelah enam bulan mencari, kami dipertemukan dengan rumah yang kami anggap pas.
Tantangan selanjutnya adalah keuangan. Kami memilih mengambil rumah secara kredit. Sebagai menteri keuangan di rumah, saya bingung, akan mengambil kredit di bank mana. Pengetahuan saya yang kurang tentang bank syariah, membuat saya memilih bank konvensional. Alasannya sederhana, karena bunga lebih murah dengan tenor lebih panjang.
Kami pun mulai menyicil rumah. Di saat yang bersamaan saya mulai belajar tentang perbankan syariah. Selesai membaca, saya bertanya pada beberapa orang teman yang bekerja di bank syariah.
Setelah itu saya tidak pernah tenang. Apalagi ketika saya membaca berita ekonomi. Mulai dari ekonomi global yang terpuruk hingga kenaikan suku bunga Indonesia. Saat itu, saya waswas. Saya membayangkan berapa besar bunga yang harus saya bayar untuk cicilan rumah saya.
Waktu saya menyadari itu, saya masih mendapat suku bunga promo KPR sebesar 6,49 persen dari Bank BTN. Jadi, besarnya cicilan sebesar Rp 2.040.000 belum terasa. Namun masa itu akan segera berakhir. Karena bulan depannya, suku bunga promo berakhir. Artinya, bunga kembali normal dan malah lebih tinggi seiring dengan kenaikan BI rate.
Hari yang ditunggu tiba. Sesuai dengan perkiraan, bunga cicilan melonjak. Saya tidak ingat berapa persen bunga saat itu, yang jelas cicilan saya menjadi Rp 2,9 jutaan dari sebelumnya Rp 2.040.000.
Saya lebih dikagetkan lagi ketika meminta catatan ke bank, berapa sisa pokok pinjaman. Karena waktu itu, saya akan memindahkan semua kredit, tabungan, dan asuransi, ke bank dan asuransi syariah.
Begitu saya melihat sisa pokok pinjaman, saya terduduk lemas. Saya tahu, di awal-awal pembayaran pinjaman, uang yang saya setorkan, sebagian besarnya untuk membayar bunga. Namun ketika melihat catatan itu, saya syok. Selama dua tahun membayar cicilan, pokok yang saya bayar kurang dari Rp 5 juta.