Mohon tunggu...
Meta Maftuhah
Meta Maftuhah Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan UMKM dan survey sosial ekonomi yang senang menulis blog.

Visit my blog : http://www.ceumeta.com Contact : meta.maftuhah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid-19, Siapkah Kita (kembali) Menghadapi Krisis?

22 Maret 2020   14:53 Diperbarui: 22 Maret 2020   14:59 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat hari sudah saya harus tinggal di rumah, baru empat hari. Membaca edaran Gubernur Jawa Barat, anjuran untuk tinggal di rumah adalah sampai tanggal 31 Maret 2020, yang berarti saya masih harus tinggal di rumah 9 hari lagi. Yang lebih menyeramkan, seorang adik  yang berprofesi sebagai dokter menyarankan untuk memperpanjang masa kerja di rumah sampai akhir Mei, yaitu setelah hari raya Idul Fitri.  "Apa, diam di rumah sampai Hari Raya Idul Fitri?"

Semula saya menolak mentah-mentah anjuran itu, "Hey, ingat kamu itu punya AI. Memang tubuh kamu kuat menahan gempuran virus?" Suara adik terdengar keras di telpon. Buat seorang survivor auto imun, adanya pamdemi virus covid-19 membuat harus lebih meningkatkan imunitas. Tidak ada pandemi saja harus berhati-hati jangan sampai terpapar penyakit, apalagi ada pandemi. Membaca status sosial media para dokter, semua memprediksi jika puncak pandemi adalah di bulan April 2020, saat Ramadhan. Terlebih jika anjuran pemerintah untuk diam di rumah, tidak diindahkan masyarakat. Maka virus Corona bukan tidak mungkin peredarannya akan semakin lama.

Lalu, apa saya harus menangis di pojokan sambil menghitung tabungan yang mungkin masih bisa digunakan untuk bertahan hidup beberapa pekan? Atau memaksa terus beraktivitas, padahal semua aktivitas terhenti. Buat pegawai negeri atau karyawan, bisa jadi pandemi corona tidak menjadi masalah. Tapi buat seorang pekerja mandiri yang hidupnya menggantungkan pada orderan tentunya tidak bekerja berarti tidak punya uang. Sejenak, jadi terbayang  nasib teman-teman pelaku usaha skala mikro kecil, yang hidupnya bergantung penjualan hasil kerja mereka hari itu. Jangan katakan tentang penjual gorengan yang pendapatannya kurang dari Rp 200.00o rupiah per hari. Sepekan ini, pemilik konveksi, pemilik travel mandiri,  supir angkot, dan banyak pekerja mandiri alias wirausaha yang sebagian besar mengeluh bahwa pendapatan menurun tajam. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Covid-19, menjadi moment berserah diri

Hari pertama harus tinggal di rumah, kesal, sedih, karena harus melewatkan sebuah transaksi besar, melewatkan sebuah MOU yang bisa jadi tidak akan datang kembali. Semua terjadi karena sebuah kabar bahwa pada kegiatan yang saya ikuti sehari sebelumnya ada yang diduga menjadi suspect COVID-19. Bingung, itu hal yang pertama dirasakan. Wa grup, telpon semua menanyakan kabar, apakah saya terkena atau tidak. Adanya sebuah persepsi bahwa seorang suspect adalah "orang berbahaya" membuat semua orang menjadi khawatir. Waktu bergulir, sebuah informasi di media menyampaikan bahwa ternyata kolega saya negatif dari covid-19. Berita pun reda, tapi semua kegiatan sudah dihentikan hingga tanggal 31 Maret 2020. Dan sejak hari itu semua orang beraktivitas dari rumah.

Pasrah pada ketetapan pada Sang Maha Kuasa, menjadi salah satu  hal yang tentunya saat ini harus dilakukan. Kita tidak bisa bertanya apakah ini ujian, cobaan, musibah atau hukuman. Bagi masyarakat Indonesia yang religius, tentunya mau tidak mau harus mempercayai bahwa ini adalah bagian dari takdir yang ditetapkan Sang Maha Kuasa. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah pasrah, berserah diri, mengisi waktu dengan beribadah di dalam rumah bersama keluarga. Toh marah dan kecewa pun tidak ada artinya.

Covid-19, moment memperkuat ketahanan keluarga

Empat hari buat seorang yang selalu beraktivitas di luar adalah prestasi. Jangan bandingkan ibu bekerja atau ibu di rumah, semua adalah kondisi yang hanya dirinya, keluarga dan Sang Maha Kuasa yang tahu. Bagi ayah atau ibu yang selama ini bekerja di luar, himbauan pemerintah untuk diam di rumah adalah sebuah moment memperkuat ketahanan keluarga. Ayah, ibu, anak, berkumpul saling membantu. Sudah 10 tahun keluarga kami tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART). Tidak bekerjanya orang tua membantu anak lebih memahami kondisi ekonomi, dan orang tua juga memahami kebutuhan anak. Kondisi ini bukan masa liburan, semua orang harus berhemat. Anak tidak bisa memaksa orang tua untuk memberilkan semua kebutuhannya. Dan ini tugas orang tua memberikan pemahaman kepada anak.

Di sisi ekonomi, saya bukanlah orang yang menjadi korban panic buying.  Kebutuhan keluarga dipenuhi secukupnya, kulkas, lemari persediaan normal seperti biasa. Tetapi keluarga kami punya persediaan dalam bentuk tanaman pangan di pekarangan. Daun singkong, pepaya, serai, daun jeruk, pandan, daun bawang, hingga cabe rawit. Gerakan berkebun di pekarangan yang telah digalakkan sejak tahun 2015 lalu terasa manfaatnya hari ini. Dalam kondisi darurat, apa yang ada di halaman bisa jadi penganan.

Covid-19, moment memperkuat solidaritas sosial

Sepekan ini juga tentunya akan berat bagi semua. Di lingkungan kita pun tidak semua dalam kondisi berada. Bisa jadi ada anak yatim, dhuafa, pegawai yang terkena PHK, pedagang kecil yang tidak bisa berjualan. Ini baru awal, hari-hari ke depan bisa jadi akan lebih berat lagi. Tidak semua warga dapat memenuhi lemarinya dengan stok pangan. Dan saat ini, pangan menjadi salah satu kebutuhan primer yang tidak bisa ditunda. Apakah ini tugas masyarakat? Di mana peran pemerintah? 

Tahun 1999-2000, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan jaring pengaman sosial (JPS) atau social safety net. Saat itu pemerintah menyalurkan anggaran untuk masyarakat yang terkena PHK serta masyarakat yang tidak berpenghasilan. Bisa jadi kebijakan tersebut perlu dilakukan kembali. Siapa saja yang berhak mendapat? Ketua RT dan RW sebetulnya yang lebih tahu, tentunya dengan syarat misalnya pekerjaan, pendapatan, kondisi rumah dan sebagainya. Sehingga kebijakan tersebut dinikmati oleh warga yang betul-betul membutuhkan. Yang memang tidak memiliki bahan pangan untuk konsumsi sehari-hari.

Bagi yang berkelebihan, tidak usah jauh-jauh untuk memberikan donasi. Bisa bertanya pada ketua RT, RW atau lurah untuk mencari tahu warga yang sedang membutuhkan. Termasuk juga berbelanja dari pengusaha mikro kecil. Dengan berbelanja dari pengusaha mikro dan kecil akan membantu mereka memutarkan roda usahanya.

Covid-19, moment untuk lebih kreatif

Bukan orang Indonesia kalau tidak kreatif. Tahun 2000 dulu, kafe tenda biru bermunculan sebagai alternatif masyarakat memperoleh penghasilan. Begitu pula dengan mobil toko, toko online dan sebagainya. Tentunya kita tidak bisa terus berdiam diri merenungi nasib, karena walau bagaimanapun hidup harus terus berjalan. Bagi pedagang di car free day, penjualan melalui sosial media bisa menjadi salah satu cara. Atau untuk yang tidak memiliki produk bisa ikut menjualkan produk teman-temannya. Bagaimanapun caranya dapur ya tetap harus ngebul.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun