Berbisnis di era digital memang luar biasa, apalagi jika target marketnya generasi milenial yang lahir di antara tahun 1980-2000. Tapi apa mau dikata, survey yang dilakukan Mc Kenzie plus didukung data BPS menunjukkan, mayoritas penduduk Indonesia adalah generasi milenial. Belum lagi ditambah "adiknya" generasi Z.
Di tahun 2030, Indonesia akan menghadapi bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) melebihi usia lansia dan anak.
Mengutip berita dari okezone.com (5/11/2017), pada tahun 2030, rasio ketergantungan Indonesia meraih angka terendah, yaitu 44%. Yang artinya, usia produktif akan mendominasi. Dan, kelompok usia produktif itu adalah generasi Y dan generasi Z, yang sangat digital minded.Â
Selain itu, kondisi ekonomi Indonesia pun diharapkan akan semakin membaik. BPS Â mengeluarkan data penduduk miskin pada Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang, dan September 2017 26,58 juta orang. Pemerintah menargetkan jumlah penduduk miskin terus menurun. (Kompas, 3/3/2018).
Pertanyannya, bagaimana dengan keberlangsungan koperai di masa depan? Akankah terus bertumbuh atau terdisrupsi?Â
Hasil sensus ekonomi 2016 (hal 53), menunjukkan bahwa terdapat 49.631 koperasi simpan pinjam, 12.312 koperasi perdagangan dan persewaan (grosir/retail), 2126 pada penyediaan akomodasi dan makainn minum, dan 2098 koperasi pengolahan. Sub sektor lain, jumlahnya sangat sedikit.
Dari data tersebut, kita dapat mengambil asumsi, bahwa pasar koperasi adalah yang membutuhkan jasa keuangan. Diikuti pembeli kebutuhan pokok, dan berikutnya adalah pelaku usaha.Â
Di sisi bisnis keuangan, saat ini terjadi perubahan konstruktif. Kurang dari 5 tahun tumbuh dengan pesat layanan keuangan berbasis digital (fintech). Dampaknya cukup signifikan, pasar keuangan semakin beragam. Generasi milenial mulai melirik layanan non tunai. Tanpa rekening pun bisa transfer via telpon, atau belanja digital dan pesan hotel cukup bayar di minimarket terdekat. Mudah, dan murah, tidak pakai ngantri, tidak pakai lama. Bukan hanya di kota, tapi juga di desa.Â
Di sisi lain, stigma koperasi masih cukup miring. Ibarat berita hoax yang menyebar cepat lintas generasi. Padahal, banyak koperasi yang punya prestasi, tapi bekerja dalam senyap.
Konon omzetnya hingga triliunan, dengan anggota mencapai ribuan. Kebaikan koperasi sirna karena ulah oknum yang menjadikan koperasi sekadar alat untuk mendapat dana hibah, atau berkedok rentenir.Â