Kepala Biro Tempo Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah menuturkan mengenai kegelisahan Jurnalistik pada masa sekarang ini di Bedah Buku Jurnalisme Keberagaman yang diadakan di Auditorium Kampus 4, gedung Theresa Universitas Atma Jaya Yogyakata tersebut.
“Indenpendensi seorang Jurnalis itu mutlak ketika membicarakan soal keberagaman, Open minded jurnalis itu penting” ucapnya, Jumat lalu (24/3).
Acara yang di moderatori oleh Anang Zakharia dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tersebut di mulai pada pukul 14.00 dan di buka oleh Usman Kasong, Penulis Buku Jurnalisme Keberagaman yang merupakan Direktur Pemberitaan Media Indonesia.
Tidak hanya Usman Kasong, Bedah Buku tersebut juga di hadiri oleh Lukas Ispandriarno, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta ,Agnes Dwi Rusjiyati dari Aliansi Bhinneka Tunggal Ika dan Kepala Biro Tempo DIY dan Jateng, Widiarsi Agustina.
Ia menuturkan bahwa sebagai jurnalis taat pada fakta dan nyali pada verifikasi itu penting karena tujuan jurnalis adalah menyampaikan fakta kepada masyarakat, terutama soal keberagaman.
“Keberagaman itu persoalan yang sulit” tuturnya. Ditambah lagi dengan munculnya media baru seperti media sosial dan kebiasaan wartawan pada jaman sekarang ni ialah meliput dari apa yang sedang hits atau sedang menjadi trending topic dimedia sosial, tidak mencari berita di lapangan seperti sebelumnya.
“95% Jurnalis sekarang memiliki media sosial. Tidak seperti dulu, jurnalis sekarang ketika akan melakukan liputan atau turun ke lapangan mereka malah harus melihat dulu ke media sosial, apa yang menjadi trending topic baru lah liputan. Sedangkan masalah sekarang ini adalah soal keberagaman, dan keberagaman itu merupakan isu tersembunyi. Itulah kenapa masalah keberagaman selalu lambat penyelesaiannya” tuturnya.
Menurutnya media sosial sebagai media yang tidak sehat karena menyebarkan kebencian jika dilihat dari pemilihan diksi atau kata-kata.
“media sosial sebagai media baru itu tidak sehat karena menyebarkan kebencian, dari pemilihan kata atau diksi seakan-akan menyebarkan kebencian terhadap sesuatu yang sedang dibahas. Contohnya saja seperti misalnya anggota sepak bola arsenal kembali menyerang bola ke gawang lawan.seharusnya kata menyerang itu tidak ada. Bola itu kan tentang permainan, dan kata menyerang itu mengandung kebencian dan tantangan jurnalis adalah tidak ikut dalam kebaiasaan ‘mainstream’ media sosial yang menyebarkan kebencian.” tukasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H