Mohon tunggu...
Cesillia Ida
Cesillia Ida Mohon Tunggu... -

Pasal 28F UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pantas Semua Kita Masih Suka Teriak Merdeka!

27 Mei 2010   20:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rakyat Indonesia telah lama dibohongi melalui penggelapan sejarah yang berkepanjangan. Hampir setiap buku pelajaran sejarah di Indonesia, tidak ada yang mencantumkan perihal sejarah yang sesuai pada kenyataannya. Termasuk cerita dongeng kemerdekaan bangsa Indonesia.Bila kita perhatikan kalimat dalam pembukaan UUD 45 “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka”,maka seharusnya kita menyadari bahwa saat ini kita masih sekedar berada di pintu gerbang dan belum memasuki bangunan kemerdekaan itu sendiri. Belum lagi bila kita teliti makna ucapan sukarno “kutitipkan bangsa ini kepadamu”,yang memberi kesan bahwa ada sesuatu pekerjaan yang belum terselesaikan.Terbukti sampai saat ini belanda belum memberikan pampasan perang kepada Indonesia,tidak seperti yang dilakukan jepang.Maka bisa diartikan bahwa pemerintah negera ini hanyalah perpanjangan tangan penjajah yang melanjutkan kembali penjajahannya terhadap Bangsa tepatnya Rakyat Indonesia. Ada perjanjian terselubung di balik Konferensi Meja Bundar (KMB), di balik peristiwa sejarah yang disebut-sebut menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia itu, tersembunyi perjanjian pembayaran utang-utang penjajah kolonial Belanda.Fakta yang sangat mencengangkan dari perjanjian yang digelar di Den Haag Belanda, 23 Agustus 1949, itu diceritakan kembali oleh Pengamat Ekonomi, Revrison Baswir, saat mengisi sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Menurut Revrison, untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah Belanda mengajukan beberapa persyaratan. Salah satunya, Indonesia harus mau mewarisi utang-utang yang dibuat Hindia Belanda, sebesar 4 miliar dolar AS. Indonesia yang saat itu diwakili Mochamad Hatta, menyetujui syarat tersebut." Sebelumnya, Hatta telah mendapat lampu hijau dari Soekarno untuk menyetujuinya. Indonesia menyetujui syarat tersebut untuk mendapat pengakuan kedaulatan. Namun, rencananya, Indonesia tidak akan membayar utang tersebut dan tetap membiarkannya menjadi tanggungan pemerintah Hindia Belanda," tutur Revrison. Pada akhirnya rencana tersebut dijalankan. Pada kurun waktu 1949-1965, Indonesia tidak membayar utang tersebut. Akibatnya, munculah Agresi Militer Belanda I dan II. Setelah berkali-kali mengalami kegagalan, akhirnya Belanda pun menyerah untuk memaksakan kehendaknya agar Indonesia membayar utang tersebut.Namun, lanjut Revrison, Belanda tidak berhenti sampai di situ. Mereka mulai menyusun rencana lain, dengan cara lebih halus, antara lain dengan pembentukan Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Dari sejarah, diketahui jika kelompok yang diketuai Belanda itu didirikan untuk membantu pembangunan Indonesia. "Ternyata, di balik pendirian IGGI pun ada udang di balik batu. Logikanya sederhana. IGGI dibentuk, Belanda ketuanya, dengan syarat Indonesia harus mau membayar utang peninggalan Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1967-1968,Soeharto, melakukan reschedulling pembayaran utang tersebut," Hingga pada 1968 disepakati jika utang Hindia Belanda akan dicicil Indonesia dalam tempo 35 tahun. "Utang tersebut baru lunas pada 2003. Sekarang, utang Indonesia di luar utang Hindia Belanda bersisa 66,8 miliar dolar AS. Dengan utang sebesar ini, mau lunasnya kapan?" katanya. Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah: 1. Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua Barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua Barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. 2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara. 3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.Karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari India-Belanda(Nederland Indië), maka RIS harus menanggung utang Pemerintah India-Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 6 ½ milyar Gulden.

Dalam perundingan KMB diputuskan, bahwa Pemerintah RIS harus membayar utang Pemerintah India Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar Gulden. Di dalam jumlah ini, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk melancarkan agresi militer I tahun 1947 dan II tahun 1948. Pemerintah Indonesia membayar cicilan hingga mencapai 4 milyar gulden sampai tahun 1956, dan pembayaran dihentikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap tahun 1956. Jadi Indonesia membayar biaya untuk agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda kepada Indonesia.Selain itu, Pemerintah Orde Baru tahun 1969 menyetujui kompensasi bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di masa Presiden Sukarno.Kompensasi sebesar 350 juta US $ dicicil dan baru lunas tahun 2003. Hal itu berbeda dengan informasi oleh Baswir bahwa Indonesia tidak membayarkan hutang-hutang tersebut selama periode 1945-1965. Berdasarkan informasi dari KUKB, justru sampai tahun 1956, Pemerintah Indonesia telah membayarkan hingga jumlah 4 milyar gulden. Sedangkan pada masa orde baru, pemerintah membayarkan kompensasi atas nasionalisasi perusahaan Belanda (bukan yg 4.5 milyar gulden), yang totalnya 350juta US$ dan lunas pada tahun 2003. Dan ini baru satu kasus, Para founding Father itu banyak melakukan perjanjian yang turun temurun harus di selesaikan oleh siapapun pemimpin Indonesia. Akan kita bahas lagi lain waktu bila waktu berpihak. Salam Cesillia Ces Pustaka: berbagai bacaan

World Blind

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun