Catatan : Pada zaman kolonial dulu Belanda selalu menyebut orang Minang sebagai Maleier (Melayu).
Hampir semua janji-janji manis dan muluk-muluk yang tertera pada Plakat Panjang tersebut tidak ditepati/dilanggar oleh Pemerintah Hindia Belanda. Salah seorang mantan residen Sumatera Barat bernama Kooreman (1900) berkomentar bahwa Belanda tak usah ribut-ribut, mengenai Plakat Panjang, karena rakyat toh tidak mengetahui isinya. Namun, bagi masyarakat Minang akhirnya beranggapan bahwa orang-orang Belanda tidak lebih dari ular yang besar, Ini terlihat pada dua “takok taki” (teka-teki) anak-anak Minang Djadoel (abad ke 19) yang saya kutip dari ” Midden-Sumatra: Volksbeschrijving van Midden-Sumatra, door A. L. van Hasselt, 1881”
“Sagadang-gadang ula, ula a nan gadang? Apo itu, kok iyo ? (Sebesar-besarnya ular, ular apa yang besar ?. Apa itu, ya ?)
Jawab : Ulando (Ulando adalah kata lain dalam bhs. Minang untuk “Balando” yang berarti Belanda)
“Sagadang-gadang kuman, kuman a nan gadang ? Apo itu, kok iyo ? (Sebesar-besarnya kuman, kuman apa yang besar ?. Apa itu, ya ?)
Jawab : Kumandua (berasal dari bhs. Perancis “commandeur, kata “mandor” berasal dari kata ini). Catatan: Commandeur adalah pejabat kolonial Hindia Belanda yang paling rendah.
Jadi sewaktu zaman penjajahan Belanda, masyarakat Minang menganggap orang Belanda sebagai ular yang besar dan sumber berbagai penyakit.
Kalese-pese
Pada zaman kolonial, mungkin karena pergaulan atau pendidikan sebagian kecil dari orang Minang bisa berbahasa Belanda, namun bagi sebagian besar masyarakat awam di Ranah Minang bahasa tersebut kedengarannya tidak lebih dari bunyi “ese-pese” saja, karena bahasa Belanda banyak memakai huruf “e”, lagi pula adjektiva bahasa Belanda banyak memakai imbuhan/berakhiran “e dan se”, seperti dalam kalimat beriku ini: De winnaar was een buitengewone Surinaamse meisje van Javaanse afkomst. (Pemenangnya adalah seorang gadis yang luar biasa dari keturunan Jawa Suriname.). Bagi orang awam kalimat bahasa Belanda tersebut tidak lebih dari bunyi “kalese pese” saja.
Jadi seseorang yang sudah mahir berbahasa Belanda dikatakan oleh orang Minang djadoel: “Eeh, inyo alah bisa mangecek kalese-pese pulo. (Eeh, dia sudah bisa ngomong bahasa Belanda pula).
Demikianlah sekelumit mengenai stigma Belanda di Ranah Minang.