PROLOG
Mataku takjub minggu siang itu melihat sekitar lima puluh muda-mudi memenuhi ruangan perpustakaan PDS HB Jassin Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Mereka dengan khidmat membaca bahan bacaan sastra di tempat duduk masing-masing. Pemandangan yang mematahkan asumsi bahwa generasi muda Indonesia masa kini tidak menyukai literasi bermutu.
Hari minggu (29/10/2023), diriku menginjakkan kaki di Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk pertama kalinya setelah tempat itu selesai direvitalisasi tahun 2022.
Saya datang ke tempat ini untuk menghadiri peluncuran dua novel berjudul 'Kelir' dan 'Prasa, Operasi Tanpa Nama' yang dibuat Yon Bayu Wahyono.
BAB I
Terakhir kali ke TIM pada Agustus 2019. Sewaktu menonton film "Bumi Manusia" di bioskop TIM yang kini sudah tak ada. Film yang diadaptasi dari novel ikonik karya sastrawan nyentrik Pramoedya Ananta Toer.
Sempat kikuk saat memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki. Suasana vintage yang dulu ku ingat ada di berbagai pojok TIM, kini berubah total menjadi modern.
Bangunan gedung Ali Sadikin berdiri kokoh menjulang tinggi di sisi kiri pintu masuk TIM.
Saya lalu masuk ke selasar lantai bawah gedung. All Sadikin, mantan Gubernur Jakarta yang dulu berjasa memboyong arsip-arsip berharga koleksi Hans Bague Jassin ke TIM pada tahun 1964.
Beberapa lukisan bertemakan air dipajang di selasar lantai bawah. Belasan anak muda sedang asyik berdiskusi di sana. Ku dengar sekilas mereka sedang membahas tentang pelestarian lingkungan.
Diriku ternyata tiba dua jam lebih awal dari waktu acara launching novel. Sehingga memutuskan berkeliling melihat -lihat perubahan Taman Ismail Marzuki. Tempat yang dulunya adalah kandang hewan-hewan peliharaan pelukis maestro Raden Saleh.
Selang sejam kemudian saya berjumpa dengan mbak Muthiah Alhasany, penulis Kompasiana yang aktif mengurus komunitas CLICK.
Dia sedang duduk-duduk santai di salah satu kedai soto. CLICK salah satu komunitas yang gencar menyebarkan informasi peluncuran novel sastra karya Yon Bayu .
Tak berapa lama muncul oom Yon Bayu yang punya hajatan launching novel, sambil menenteng tas besar berisi buku 'Kelir' dan 'Prasa'.
Sehari sebelumnya diriku sempat sekilas berjumpa mantan wartawan berpenampilan nyentrik yang akrab dijuluki duda keren ini dalam acara temu tatap muka penulis online di seberang Bentara Budaya Jakarta, Palmerah.
Lalu beberapa orang yang tidak saya kenal datang mengenakan baju dengan sablonan yang memajang cover buku 'Prasa'.
Kelak ku mengetahui salah satu dari mereka adalah penyair kawakan bernama Nanang Supriyatin yang didaulat sebagai MC launching novel Yon Bayu.
Kemudian datang rombongan ibu-ibu berpakaian menyolok dengan motif tradisional. Mereka menghampiri oom Yon Bayu, berbincang dan berfoto bersama.
Tak lama berselang, salah satu dari ibu-ibu yang mengenakan pakaian bermotif kain tradisional memanggil namaku.
Sejenak melihat, ku baru menyadari beliau adalah bunda Elisa Koraag. Dia yang mewawancarai diriku dalam konten video vlog 12 tahun silam pada satu acara fashion show busana batik di Senayan. Kami sudah lima tahun lebih tidak berjumpa.
Bunda Elisa membawa rombongan teman-temannya dari Komunitas Perempuan Pelestari Budaya Nusantara untuk menghadiri peluncuran "Kelir" dan "Prasa".
Setelahnya mulai ramai berdatangan orang yang akan menghadiri launching novel. Beberapa dari mereka adalah penulis blog di Kompasiana.
Ada Sukma Tom yang setia menjadi penerima tamu dari awal hingga akhir acara. Ku sempat bersalaman dengan pak Isson Khairul, wartawan senior yang juga aktif menulis di Kompasiana.
Datang pula pak Thamrin Dahlan, pemilik yayasan perpustakaan di kawasan Kramat Jati yang telah menerbitkan ratusan buku.
Terlihat juga mas Agung Handoyo, Rahab Ganendra, Bugi Sumirat. Bang Topik Irawan, Horas, mbak Dewi Puspa, Diah Woro, Maria Etha, pak Sutiono Gunadi, serta beberapa kompasianer lainnya.
Mendekati waktu acara peluncuran novel, aku dan beberapa tamu lain bergegas naik ke lantai 4 gedung Ali Sadikin, menuju auditorium Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.
Sesampainya di lantai empat, terpampang mural wajah HB Jassin yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Di sampingnya terpajang mural si penyair 'Binatang Jalang', Chairil Anwar.
Ku sempatkan melihat-lihat berbagai arsip surat kabar dari era Orde Lama, surat tulisan tangan dari sastrawan hebat sekelas NH Dini, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, dan lain-lain, yang didokumentasikan dengan gigih oleh HB Jassin.
Naik satu lantai, melihat pemandangan menakjubkan seperti yang telah diriku tuliskan pada awal cerita ini. Karya sastra masih digemari oleh banyak anak muda!
BAB II
90 orang lebih dengan masyuk menyaksikan Retno Budiningsih membaca nukilan novel 'Kelir'.
Retno tidak hanya berorasi, tapi juga menembangkan lagu Jawa. Selaras dengan isi buku 'Kelir' yang kental dengan nuansa kebudayaan Jawa.
Kemudian, Devie Matahari membacakan nukilan novel 'Prasa: Operasi Tanpa Nama' dengan gaya teatrikal.
Devie Matahari bercerita layaknya mendongeng. Dengan lihai mengekspresikan dialog -dialog menarik dalam buku 'Prasa' yang berlatar belakang peristiwa kejahatan yang disembunyikan oleh seorang pensiunan perwira militer.
Yon Bayu Wahyono dalam orasi pertanggung jawaban karya bukunya mengatakan, dirinya menerbitkan novel 'Kelir' dan 'Prasa' untuk menambah khasanah kesusastraan di Indonesia.
Novel 'Kelir' yang covernya memajang ilustrasi dua gunungan wayang berbeda kiblat mengarah ke kiri dan ke kanan, bercerita tentang kegundahan Hamoroto, mantan tentara berpangkat kapten penganut Kejawen.
Hamoroto yang berstatus pemuka kaum Kejawen, pernah sangat percaya akan kebangkitan Majapahit dan agama budi Kapitayan, seperti yang tertera dalam kitab-kitab kuno Jawa.
Namun, keyakinan Hamoroto kepada Kejawen yang dianutnya memudar. Dipicu kekecewaan kepada ramalan-ramalan kitab kuno tentang kedatangan Sabdopalon dan Nayagenggong yang tidak pernah terjadi.
Yon Bayu menyebutkan, novel 'Kelir' yang menceritakan tentang sejarah dan budaya Jawa, intrik-intrik politik, serta pergulatan batin tokoh-tokohnya, bisa jadi adalah representasi dari penulisnya.
Petite histoire dukun-dukun istana pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, salah satu yang melatarbelakangi terciptanya novel 'Kelir'.
Yon Bayu yang lama menjalani profesi sebagai wartawan politik mengingatkan, pada era 1970an terjadi fenomena aneh, saat itu marak bermunculan tempat-tempat keramat di Indonesia.
Yon Bayu menambahkan, 'Kelir' juga tercipta berdasar pengalaman dirinya mengamati kebiasaan unik laki-laki sepuh di pedalaman Jawa yang melakukan ritual menyepi (bersemedi) di tempat -tempat sunyi.
Kebiasaan menyepi lelaki sepuh Jawa itu terjadi pada lintas generasi dan ragam kepercayaan.
Sampul buku 'Prasa, Operasi Tanpa Nama' memampang ilustrasi sepasang sepatu bot yang biasa dipakai tentara berdampingan dengan dua tangkai bunga mawar. Satu tangkai mawar berdiri tegak dari dalam lubang sepatu, satu lainnya tergeletak terjepit sepatu.
Novel ini menceritakan kisah seorang perempuan bernama Prasa yang tumbuh besar di keluarga perwira tentara bernama Jenderal Progo Subagio.
Prasa ketika dewasa mendapat kenyataan mengejutkan, bahwa dirinya bukanlah anak kandung Jenderal Progo. Rahasia yang disimpan rapat oleh Jenderal Progo hingga akhir hayat.
Prasa kemudian mengetahui asal-usul dirinya dari satu pemukiman di pedalaman hutan. Prasa terpisah dengan keluarga kandungnya karena operasi tanpa nama yang dipimpin Progo.
Diketahui Prasa melalui buku biografi Progo yang ditulis Cakrawira. Buku biografi dbuat Cakrawira untuk kepentingan politik yang dapat membahayakan negara
Yon Bayu menjelaskan dalam orasi pertanggungjawaban karyanya, peristiwa penggusuran pemukiman untuk kepentingan industri seperti yang terjadi menimpa keluarga kandung Prasa, pernah terjadi di masa lampau, terjadi pula di masa kini, dan mungkin terulang di masa mendatang.
Ide cerita novel 'Prasa' tercetus secara tidak sengaja, bertepatan dengan isu kejahatan hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang kembali mengemuka jelang pemilihan umum di Indonesia.
Yon Bayu kerap merasa kecewa berulang kali menyaksikan isu-isu pelanggaran HAM dalam konteks politik hanya sebatas buih yang hilang begitu saja. Isu tersebut lenyap senyap manakala kepentingan politik pihak-pihak yang mencuatkannya telah terpenuhi.
Padahal, kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu di Indonesia, semisal peristiwa G 30S-PKI, peristiwa Malari, tragedi Tanjung Priok, Talang Sari, penculikan aktivis pro reformasi sebelum 1998, atau tragedi Semanggi 1 dan 2, sangat melukai batin para korban dan keluarganya.
Dalam pandangan Yon Bayu, idealnya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dibuka secara gamblang oleh pemerintah kepada publik, dan pelakunya disidangkan secara hukum.
Sehingga bangsa Indonesia di masa depan tidak dibebani dengan persoalan utang pengungkapan sejarah kelam.
Pelaku kejahatan HAM dihukum, agar memberikan efek jera pada pelakunya. Mencegah hal serupa terjadi di masa mendatang.
Penulis novel 'Prasa' mengakui bukan perkara mudah untuk menghukum pelanggar HAM berat. Karena pihak-pihak yang terlibat pasti akan memberikan perlawanan balik yang menakutkan.
Melihat situasi yang kusut seperti itu, Yon Bayu sempat berpikir skeptis, apakah sebaiknya peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dilupakan saja oleh bangsa ini, dan pelakunya dimaafkan?
BAB III
Yon Bayu di depan podium dengan mantap mengatakan, tidak elok bagi penulis fiksi memberikan penjelasan isi dan pesan yang disampaikan dalam karyanya,
Hal itu selaras dengan pemahaman dirinya bahwa karya fiksi seperti novel memiliki keragaman tafsir. Karya fiksi bukan berisi berita atau informasi sebuah peristiwa.
Menurut Yon Bayu, adalah wajar ketika karya sastra dibaca oleh 10 orang akan melahirkan 10 dan bahkan 11 tafsir yang berbeda.
Dalam acara peluncuran di PDS HB Jassin, Cikini, novel 'Kelir' dibedah secara khusus oleh Sunu Wasono, doktor ahli sastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Doktor Sunu Wasono mengapresiasi terbitnya 'Kelir'. Karena menambah khasanah pengetahuan mengenai kebudayaan Jawa. Seperti yang pernah dilakukan oleh penulis Ahmad Thohari yang menerbitkan buku 'Ronggeng Dukuh Paruk'.
Sunu Wasono melihat ada dimensi politik untuk melegitimasi kekuasaan yang terdapat pada cerita buku 'Kelir'.
Kritik disampaikan oleh Sunu Wasono kepada penulis 'Kelir', karena belum menjelaskan secara detil, apa itu 'Sabdo Sejati'? Selain itu, sering terulang kesalahan dalam pemakaian kata yang tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia. Hal ini agar diperbaiki oleh Yon Bayu dalam terbitan karya-karya selanjutnya.
Sedangkan novel 'Prasa, Operasi Tanpa Nama' dibedah oleh Isson Khairul, jurnalis senior, pemerhati sastra yang aktif berkegiatan di komunitas Kutu Buku Kompasiana.
Isson Khairul memuji Yon Bayu yang serius memikirkan persoalan bangsa Indonesia terkait HAM yang dituangkan dalam karya sastra berwujud novel 'Prasa'.
Hanya saja, novel ini masih terlalu kaku, terlalu banyak disuguhi data-data peristiwa seperti layaknya berita. Belum lentuk seperti buku novel yang seharusnya.
Hal itu dapat dipahami oleh Isson Khairul karena tahu betul Yon Bayu berlatar belakang jurnalis politik yang terbiasa membuat berita runut.
Isson Khairul juga mengkritik gaya percakapan tokoh Prasa yang terlalu laki-laki, tidak seperti cara berdialog perempuan pada umumnya.
Bapak Thamrin Dahlan mengenal lama Yon Bayu sebagai penulis opini hebat spesialis bidang politik.
Pendapat Thamrin Dahlan pemilik yayasan perpustakaan di Kramat Jati, mungkin Yon Bayu jengkel berbagai masukan dan kritikan sudah tidak mempan kepada para politikus.
Sehingga kegundahan hati dituangkan oleh Yon Bayu lewat karya novel yang bersinggungan dengan politik.
Dewi Puspa, penulis dan juga sineas yang baru saja memproduksi film 'Ngidam', secara khusus mengapresiasi novel 'Kelir' yang mudah dipahaminya sebagai orang Jawa.
Dewi Puspa sempat bertanya-tanya, dari mana Yon Bayu mengetahui secara mendalam ilmu kebatinan di pedalaman Jawa?
Hadirin launching novel lainnya mengharapkan, novel 'Kelir' atau 'Prasa' dapat ditransformasikan menjadi karya digital berbentuk e-book, dan bahkan digarap menjadi film.
EPILOG
Dapat membuat novel yang menempati sudut rak, walau di rak paling sudut di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, adalah mimpi atau cita-cita lama Yon Bayu Wahyono sejak remaja yang akhirnya terwujud.
Banyak pihak yang telah membantu terwujudnya impian lama Yon Bayu. Ditolong penerbit Teras Budaya Jakarta milik Remy Novartis.
Dibantu oleh teman-teman seniman sastra dan budayawan di Taman Ismail Marzuki dan berbagai tempat lainnya. Serta diberikan semangat oleh rekan-rekan penulis online khususnya kompasianer.
Dan tentunya didukung dengan cinta kasih oleh kedua putri Yon Bayu, Dea dan Lala, yang turut hadir dalam acara peluncuran novel di PDS HB Jassin.
Tampak binar mata kedua anak gadis tersebut bangga melihat ayahnya yang merilis dua buku sekaligus dihadiri oleh banyak orang dari lintas komunitas (sastrawan, budayawan, seniman, sineas, jurnalis, blogger, dan sebagainya).
Novel 'Kelir', serta 'Prasa, Operasi Tanpa Nama' karya Yon Bayu Wahyono, hari minggu itu (29/10) telah diserahkan kepada pihak pengelola Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Untuk dipajang di area perpustakaan tempat itu supaya bisa dibaca oleh umum.
Yon Bayu menyampaikan kata-kata hebat dalam pernyataan penutup di acara peluncuran novel,
"Sastra harus tetap hadir untuk mengisi ceruk-ceruk tersembunyi dalam jiwa kita yang tidak bisa dijangkau dan digantikan oleh teknologi.'
"Satu karya sastra akan melahirkan gagasan pemikiran baru lainnya di kemudian hari. Demikian fungsi karya sastra di era disrupsi. Di mana perilaku manusia berubah begitu cepat karena kemajuan teknologi."
Karya fiksi salah satu yang membangun peradaban dunia. Kemajuan teknologi hari ini diilhami oleh karya fiksi yang berkualitas.
Apabila semakin banyak karya fiksi berkualitas tinggi yang terbit, ini dapat membantu generasi muda berimajinasi untuk membuat karya spektakuler yang berguna buat khalayak pada masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H