Setiap tanggal 12 November, kita memperingati Hari Ayah sebagai bentuk penghargaan terhadap peran besar yang dimainkan oleh sosok ayah dalam kehidupan kita. Momen ini lebih dari sekadar memberikan ucapan atau seremoni penanda tanggal, tetapi juga untuk merenungkan kembali pentingnya peran seorang ayah sebagai pembimbing, pelindung, dan figur yang membentuk arah hidup anak-anak, generasi penerus masyarakat kita. Namun, bagi sebagian orang, peringatan ini juga bisa mengingatkan mereka pada ketidakhadiran ayah dalam hidup mereka, baik karena perceraian, kematian, atau kurangnya keterlibatan emosional. Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah ini semakin relevan untuk dibahas, karena dampaknya terhadap anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah yang aktif.
Ayah Sebagai Figur Utama Dalam Kehidupan Anak
Di dunia ini, ayah bukan hanya sekadar sosok yang menafkahi keluarga. Dia adalah figur penting yang memandu, mendampingi, dan memberi rasa aman kepada anak-anak. Namun, di banyak tempat, terutama di negara berkembang, fenomena fatherless atau ketiadaan sosok ayah semakin menjadi perhatian. Baik karena perceraian, kematian, atau ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, anak-anak sering kali tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kehidupan mereka. Ada yang terlahir tanpa sempat mengenalnya, ada pula yang terpisah oleh jarak atau sekadar oleh keheningan emosional yang semakin membesar. Di balik senyuman mereka, ada ruang kosong yang tak mudah terisi. Ayah, sosok yang mestinya hadir dengan segala kebijaksanaan dan perlindungan, sering kali menjadi bayangan yang kabur dalam hidup mereka. Apa yang terjadi pada anak-anak yang harus menjalani kehidupan tanpa kehadiran figur ini? Bagaimana rasanya tumbuh besar dalam dunia yang kadang terasa terbalik, karena tiada arah yang tegas dari tangan seorang ayah?
Dampak Ketiadaan Ayah dalam Kehidupan Anak
Sekitar satu dari empat anak di Amerika Serikat, menurut data dari National Fatherhood Initiative (2024), tumbuh tanpa figur ayah yang tetap di rumah mereka. Ini bukan angka yang kecil, bukan pula sesuatu yang bisa diabaikan. Kehilangan ini berbekas di dalam diri anak-anak itu, dan dampaknya menyebar seperti riak yang tak bisa dihentikan. Tanpa ayah, anak-anak ini lebih rentan terhadap berbagai masalah sosial dan psikologis. Mereka lebih cenderung mengalami depresi, kecemasan, dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan. Bahkan, angka bunuh diri remaja meningkat dua kali lipat bagi mereka yang tumbuh tanpa ayah
Di Indonesia, meskipun kita tidak memiliki angka yang pasti mengenai fatherless, fenomena ini bisa dilihat dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari. Banyak anak yang terpaksa tumbuh tanpa sosok ayah yang hadir penuh. Perceraian menjadi salah satu penyebab utama. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2022), perceraian di Indonesia meningkat pesat, dan ini tentu berdampak pada kehadiran ayah dalam kehidupan anak. Tidak hanya itu, kesibukan ayah yang sering meninggalkan rumah untuk bekerja juga menjadi alasan utama ketidakhadiran mereka. Masyarakat kita, yang masih kuat dengan pandangan patriarki, sering kali melihat peran ayah sebatas sebagai pemberi nafkah. Ayah tak selalu hadir dalam kehidupan emosional anak.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Child Psychology pada 2022, ditemukan bahwa anak-anak laki-laki yang tumbuh tanpa ayah lebih rentan terlibat dalam kenakalan remaja dan perilaku kriminal. Begitu juga dengan anak perempuan, yang cenderung lebih bergantung pada orang lain dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami kecemasan dan depresi. Dampak dari ketiadaan figur ayah ini tidak hanya terlihat dalam perilaku, tetapi juga dalam cara anak-anak tersebut membentuk pandangannya tentang kehidupan. Anak laki-laki yang tidak memiliki ayah sering kali tumbuh tanpa mengetahui bagaimana cara menghadapi tantangan dengan cara yang sehat, bagaimana menunjukkan ketegasan tanpa kekerasan, atau bagaimana menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Sebaliknya, anak perempuan yang kehilangan ayah sering kali mencari sosok pengganti di luar rumah, di antara teman-teman sebaya atau bahkan pada pasangan di masa remaja. Meskipun mungkin tampak seperti mereka menemukan jalan, banyak yang akhirnya terluka, karena tidak ada figur yang mengajari mereka apa arti kebebasan yang sejati dan bagaimana mengelola hubungan yang sehat.
Menyibak Kabut Sepi Fenomena Faterless
Dalam kehidupan yang sering kali dibayangi ketidakhadiran, terkadang hadir pula upaya nyata yang menyelipkan secercah harapan. Di dunia yang sering kali berbicara tentang kekurangan sosok ayah, tak jarang kita menemukan inisiatif yang lahir dari kesadaran kolektif untuk mengisi ruang kosong itu. Salah satunya adalah program Ayah dan Ibu Terlibat, sebuah usaha yang mendorong para ayah untuk lebih aktif terlibat dalam pengasuhan anak. Di luar ruang sekolah, ada pula gerakan Komunitas Ayah Sayang, yang tumbuh subur di berbagai sudut tanah air. Komunitas ini hadir sebagai ruang bagi para ayah untuk berbagi cerita dan pengalaman dalam membimbing anak-anak mereka. Mereka tahu betul, meski tidak semua ayah bisa hadir dalam setiap langkah anak, namun hadir dalam hati mereka adalah tugas yang tak kalah penting. Dengan berbagi pengetahuan, ayah-ayah ini belajar cara memberi kasih sayang yang lebih dalam dan berbicara dengan anak-anak mereka tentang kehidupan dengan cara yang lebih terbuka.
Bahkan di belahan dunia lain, di sana ada program Big Brothers Big Sisters yang bertujuan untuk memberi anak-anak yang tumbuh tanpa sosok ayah kesempatan untuk menemukan figur pengganti, mentor yang bisa membimbing mereka di jalan yang lebih terang. Melalui program ini, anak-anak yang kehilangan arah karena ketidakhadiran ayah mendapatkan bimbingan yang lembut namun tegas, memberikan mereka harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Semuanya adalah usaha-usaha nyata, penuh makna, yang datang dari tangan-tangan yang bersedia menggenggam anak-anak yang membutuhkan, meski tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan peran seorang ayah. Namun, lewat langkah-langkah kecil ini, ruang kosong itu tidak hanya terisi dengan kekosongan, melainkan dengan kasih sayang dan bimbingan yang memupuk harapan bagi mereka yang tidak ingin tenggelam dalam keterasingan.
Selamat Hari Ayah !
(yrd).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H