Ia menatap mataku dengan pandangan menyelidik. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah Tria. Tria menyerah, ia tak bertanya lagi. Kemudian dia masuk ke dalam rumah, dan kembali ke teras membawa secangkir teh hangat.
Perasaanku sedikit tenang setelah menangis tadi. Kini aku mulai memikirkan Andra. Air mataku hampir tumpah lagi, tapi berusaha kutahan. Apa aku salah menyayanginya? Apa aku terlalu dalam? Apakah ia benar-benar menyayangiku? Apa ia masih peduli padaku. Buktinya, sampai sekarang tak ada satupun sms darinya.
’Mungkin cara penyampaianku salah. Tapi mungkin malam ini, Andra jadi berpikir dua kali untuk terus pacaran denganku’ pikirku.
Air mataku tumpah lagi saat membayangkan aku harus putus dengannya. Hiperbolis. Tapi siapa yang tak sakit jika terpisah dengan orang yang disayangi? Apalagi aku membayangkan dia akan memiliki kekasih yang mungkin lebih mengerti dirinya.
”Aku bahagia kok kalau semisal kamu bahagia biarpun kamu bersamanya.” OMONG KOSONG! Bahagia dari sisi mana.
Setelah kejadian malam itu, ia jarang sekali mengirim sms kepadaku. Hampir tak pernah jika aku tak memulainya. SAKIT. Tapi biarpun begitu, aku masih menyayanginya. Aku tak bosan mengirimkan pesan padanya. Hingga suatu hari,
” Kok kamu jarang maen sama Andra, Rin? ” tanya Tria saat kami sedang berkumpul bersama sahabat-sahabat kami.
” Iya, Rin. Kamu juga jarang megang HP. Dulu yaa awal jadian, nggak pernah deh lepas dari HP. Kenape lu? Putus? ” canda Delya. Biarpun aku tahu itu hanya candaan belaka, namun tetap saja ”nyesss”.
” Eh, eh kok malah nangis. Kenapa-kenapa?”tanya Delya. Awalnya aku tak mau cerita namun Delya dan Tria terus memaksa. Dan mengalirlah semua. Mulai dari pertengkaranku dengan Andra sampai sikap dingin Andra padaku.
” Gila! Dia nggak pernah sms kamu duluan, Rin?” pekik Delya.
Aku hanya mengangguk lemah,
” Udah berapa lama? ” tanya Tria.
Pertanyaan konyol. Aku tak pernah menghitung berapa lama aku termenye-menye karena sikapnya. Dan aku mulai menghitung. 5 hari!
”5 hari.” sahutku lemah.
” 5 hari diem-dieman?” Delya kaget. ” Idiih, cowok macem apaan. Udah gini deh, Rin. Kamu nggak usah peduliin dia lagi. Ya aku tahu, itu susah banget buat kamu. Caranya, kamu mikir hal-hal negatif tentang dia. Misal dia selingkuh, dia nggak sayang sama kamu lagi. Atau apalah. Ya maaf ya aku ngomong gini. Tapi aku nggak suka sahabatku diginiin.” Lanjut Delya.
Aku makin nyesek denger ucapan Delya. Tria pun menatap tajam Delya. ”Eeeh, maaf, Rin. Bukan maksudku. Aduh gimana ya? Maksudku, buat apa pertahanin cowok berengsek macem dia?”
” Dia nggak berengsek. Aku tetep mau nunggu dia, Del. Entah kapan dia bakal peduli lagi ama aku. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Nyesek bayangin dia bales sms temen-temennya tapi nggak pernah bales smsku. Sakit rasanya. Mungkin aku yang lebay kali ya? ” ucapku.
Kali ini Tria yang angkat bicara. ” Rin, kalau dibilang lebay, kamu kan emang dari dulu lebay dalam hal apapun.” ucapnya sambil tersenyum. ” Tapi aku rasa itu nggak masalah, oke, mungkin ini karna kita mengenal kamu udah lamaaaaaaaaa banget jadi kita bisa bilang gini. Tapi buktinya, kamu punya kharisma yang bisa bikin orang tertarik untuk deket sama kamu. Kalau Delya nyuruh kamu mikir hal yang negatifnya, aku nyuruh kamu mikir hal positifnya. Mungkin ini cara terbaik untuk kalian. Dengan cara kalian diem-dieman, kalian bakal sadar, seberapa dalem perasaan kalian. Tapi kalau emang harus saling melepas. Yaudah. Toh kita masih SMA. Belum saatnya mainan cinta-cintaan.”
Kuakui ucapan Tria ada benarnya. GUE MASIH SMA ngapain main CINTA. Aku jadi ingin menegaskan hal itu pada Andra. Aku nggak mau kejebak dalam keadaan kayak gini terus. Aku pengen tahu tentang perasaan Andra ke aku.
“ Apa aku sms aja ya ngajak ketemu? ” tanyaku.
Tria dan Delya saling pandang, namun kemudian mereka tersenyum. ” Itulah jalan kalian.” Ucap Delya lalu memelukku. Kemudian aku mengambil Hpku dan menulis sms untuknya.
Darlaa, ada waktu? Bisa ketemu ngga? | SEND |
Setengah jam berlalu....
Tak ada balasan. Aku kecewa.
Hari berikutnya aku terus menanyakan apakah ia punya waktu untuk bertemu denganku. Lalu terpilihlah hari Rabu Sore.
Kami bertemu di Kedai Bonheur, tempat paling penuh kenangan dengannya, Tapi nyaliku menciut saat menatap matanya. Aku tak berani menanyakan apa yang ia rasakan ataupun mengungkapkan hal-hal yang kupendam. Ia pun sepertinya tak tertarik membuat obrolan denganku,
’ HEEEH! Sadar nggak sih lo? Gue merana gara-gara elo. Kesannya elo gantung gueeeee, sayang. Lo pikir nggak sakit apa didiemin! Gue capek nunggu sms dari elo. Nggak pernah dateng!!! Gue pengen nangis tahu.. Gue pengen tahu kenapa elo nggak peduli lagi ama gue! Elo segitu kecewanya ama tingkah gue? Ya GUE MINTA MAAF. TAPI JANGAN GINI CARANYA! ’ namun, itu hanya teriakan hatiku. Tak berani kuutarakan saat menatap matanya.
Aku tak bisa membaca perasaannya. Yang kutahu ia sepertinya jengah. Tapi Aku juga lelaaaah, sayang. Aku lelah terus berharap apalagi jika harapan itu semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H