Dulu selain berkeinginan bisa ke luar negeri, saya punya impian lain yang tidak pernah terucap. Saya pengen bisa dikenal banyak orang jadi populer alias ngetop. Keinginan ini bukan tanpa sebab, dan ini lagi-lagi juga pengaruh dari bacaan yang saya lahap; majalah remaja. Melihat remaja-remaja tampil keren dan jadi trend-setter di berbagai majalah ternyata mempengaruhi alam bawah sadar saya kalau suatu saat saya ingin bisa sama seperti mereka. Alangkah sangat menyenangkan difoto-foto, trus foto kita muncul di berbagai media dan diliat banyak orang. Sukur-sukur ada yang menjadikan poster di dinding kamar mereka.
Betapa dahsyatnya pengaruh media dalam meracuni pikiran orang-orang. Bagi saya, keinginan diakibatkan racun media itu saya anggap hanya khayalan semata. Sempat terfikir juga, “Siapa saya?”. Walau saya merasa (kata “merasa” ini harus digaris bawahi) tampang lumayan enak dilihat tapi secara ekonomi dan lingkungan saya tidak didukung untuk bisa hidup seperti para idola remaja tersebut.
Tapi siapa sangka hasrat itu di kemudian hari bisa juga sedikit terobati. Yah, dikit saja karena hanya popularitas dalam skala lokal - tidak menasional - namun cukup membanggakan. Babak lain dalam hidup saya yang cukup menyenangkan hati itu dibuka ketika saya ikutan audisi pemilihan Uda Duta Wisata Kota Padang pada tahun 2004. Menang di Padang, saya melenggang ke panggung pemilihan tingkat provinsi dan dihargai menjadi “Uda Persahabatan”.
Bagi yang sudah pernah merasakan, sensasi menjadi sosok idola panggung itu ternyata mencandukan loh. Berdiri di atas panggung, disorot sinar lampu panggung dan kilauan blitz fotografer, menjadi pusat tontonan, dan dieluk-elukan mendatangkan perasaan bangga yang memabukkan.
Bagi yang punya cita-cita jadi artis atau public figure, berhati-hatilah. Terkenal dan menjadi pusat perhatian itu bisa mencandu dan menyesatkan. Ketika popularitas itu berangsur pergi, maka akan ada kegamangan. Mereka yang tidak siap, alamat akan terjebak dalam perasaan post popularity syndrome – hampir samalah dengan post power syndrom.
Ketika momen menjadi sentra perhatian itu dating, saya menikmati sensasi yang ditimbulkannya dan tidak rela momen itu berakhir begitu saja. Ada perasaan ingin terus diingat dan dilihat. Saya tidak mau perhatian pada sosok saya hilang begitu saja.
Maka usai seremonial kompetisi duta wisata dan melewati periode menjadi duta wisata, berbagai upaya untuk bisa terus diingat terus saya lakukan. Saya mengkondisikan sesekali foto dan profil saya tampil di media cetak lokal. Saya mengekspos berita-berita yang berkaitan dengan prestasi saya disertai embel-embel gelar duta yang pernah saya raih lewat bantuan teman-teman wartawan. Dan posisi berita itu ada di mana lagi kalau bukan di halaman beritanya para artis! Di situ update tentang saya sejajar dengan artis nasional dan internasional.
Pada akhirnya saya sadar kalau saya tidak bisa melawan waktu dan hukum alam. Orang mulai jenuh dan tidak peduli dengan muka-muka lama. Ini bukan soal usia tua atau muda. Mereka yang sudah lama pasti akan digantikan yang baru. Massa itu gampang bosan, mereka selalu butuh sosok segar dan baru. Bagi yang sudah melewati masanya, kalaupun dikenang hanyalah dibicarakan lewat prestasi dan perbuatan-perbuatan bukan untuk tontonan. Kalaupun dibutuhkan, porsi mereka bukan lagi sebagai tokoh utama.
Saya jadi paham kalau ada artis-artis yang banci tampil dan pengen terus eksis cari perhatian. Mereka muncul di infotainment dengan segala macam sensasi. Banyak yang sengaja muncul dengan berita tidak penting; mulai dari soal penampilan baru, ulasan jerawat tumbuh, liputan cinta lokasi semu, hingga rutinitas makan ikan asin dan jengkol juga diberitakan. Bagi yang sudah mentok, jatuhnya ke berita perceraian atau kriminal.
Semuanya karena apa? Mereka candu dan haus jadi pusat perhatian. Mereka tidak mau dilupakan. Tidak heran bagi yang karirnya mulai tenggelam dan berita mereka pun tidak laku lagi ditayangkan, ada yang gamang dan galau. Boleh jadi saja narkoba adalah salah satu pelarian. Mungkin saja mereka berharap bisa mendapatkan popularitas itu kembali walau sekedar di dunia angan-angan saat racun narkoba meracuni sel-sel otak.
Entah karena bukan di Indonesia sehingga merasa tidak ada beban diledekin orang, atau entah karena memang hasrat itu sudah ada di dalam jiwa sehingga untuk urusan berpose saya menjadi lebih ekspresif dan berani di Belanda. Saya jadi lebih suka minta difotoin atau moto diri sendiri berlatar belakang objek-objek tipikal luar negeri. Tiap bertemu bangunan gereja tua, minta difotoin; lihat patung unik, minta dijepretin; berdiri di depan museum, minta dikamerain; mencicipi makanan baru, foto juga; ketemu kincir angin apalagi, minta difotoin terus! Pokoknya, tidak ada jalan-jalan tanpa kamera kantong dan foto-foto narsis!
Perilaku ini sebenarnya menjalari hampir seluruh mahasiswa Indonesia yang saya lihat di Belanda. Jadi saya tidak sendiri untuk urusan narsis di depan kamera. Ini beda banget dengan perilaku para bule. Sejauh yang saya lihat, wisatawan bule lebih suka motret-motret objek wisata dibanding diri mereka. Mereka lebih suka mengabadikan keindahan alam, pedagang sayur, buruh pasar, selokan tersumbat, dan segala macam yang mencerminkan tempat yang mereka singgahi.
Tidak heran kalau perilaku berfoto-foto orang Indonesia dan Asia pada umumnya sudah mendapat cap dan dimaklumi para bule di sana. Pernah pada suatu kegiatan kunjungan lapangan studi jurnalistik, mahasiswa-mahasiswa asing sambil bercanda berujar pada saya “foto-foto!” di setiap tempat kami berhenti. Dengan rasa penasaran kutanyakan hal ini pada salah seorang teman bule yang ikut rombongan. Sambil tertawa dia menjawab, “Gak usah tersinggung, udah dimaklumi kok kalian orang Asia kalau kemana-mana pasti suka berfoto-foto di setiap tempat yang baru kalian kunjungi.”
Mendengar celetukan bernada stereotip tersebut, saya mulai paham tapi tetap saja tidak mengurangi intensitas berfoto-foto saya, termasuk di tengah keramaian. Jika risih mendera, kadang saya melakukannya secara sembunyi-sembunyi dengan memencet tombol otomatis untuk mengambil foto diri sendiri. Atau jika terpaksa ketika berada di latar belakang pemandangan atau objek yang sangat menarik, saya meminta bantuan pada orang lain yang kebetulan ada di sekitar tempat itu.
Belakangan saya berpikir, kebiasaan mengabadika gambar diri di tempat-tempat wisata bagi orang Asia (setidaknya Indonesia) tidak terlepas dari faktor ekonomi. Bagi orang kita, kesempatan untuk jalan-jalan itu jarang sekali. Berwisata bukanlah aktivitas murah yang bisa sering dilakukan atau direncanakan secara rutin. Ongkosnya mahal sih. Apalagi pelesiran ke luar negeri.
Hanya segelintir orang yang bisa berwisata ke berbagai tempat baru, terutama ke luar negeri. Demikian pula halnya mahasiswa yang memperoleh beasiswa ke beda benua. Sesekali ke luar negeri mutlak disertai foto diri dengan latar belakang objek-objek wisata luar negeri sebagai bukti-bukti. Ntar takutnya kalau di kampung mengaku pernah kuliah ke Belanda, yang ditanyain orang kampung bukan ijazahnya, tapi foto-fotonya mana.
Kalo bule mah, dengan uang hasil kerja di restoran saja bisa sering-sering wisata musim panas ke berbagai negara berkembang yang murah meriah. Tujuan mereka memang betul-betul untuk merasakan hal baru dan mengabadikan apa yang mereka lihat. Pose pribadi pasti ada, cuma gak banyak. Tidak sebanyak foto objek wisata yang mereka ambil.
Tapi cerita tentang budaya foto-foto khususnya bagi orang Indonesia ini setidaknya mendapatkan bukti resmi ketika saya bersama beberapa teman setanah air pergi ke kota wisata Volendam. Waktu itu tujuan utama kami ke kota nelayan itu tak lain dan tak bukan adalah untuk berfoto!
Kenapa Volendam? Karena selain sebagai salah satu destinasi kota wisata, Volendam punya nilai jual berbeda dibanding kota-kota lainnya. Kota yang terletak di provinsi North Holland tersebut menyediakan banyak studio foto bagi wisatawan untuk bisa mengabadikan diri mereka dengan pakaian tradisional Belanda. Sama seperti di Indonesia, ternyata pakaian tradisional orang Belanda juga beda-beda. Dan itu dijadikan Volendam sebagai aset bisnis pariwisata mereka. Bagi wisatawan asing khususnya Indonesia, mungkin belum lengkap ke Belanda kalau belum berfoto dengan pakaian tradisional kumpeni di Volendam.
Di kota nelayan yang jarak tempuhnya sekitar tiga puluh menit dengan bus dari pusat kota Amsterdam itu, kami mulai beraksi. Sambil menelusuri jalan mencari studio foto yang tepat, beberapa di antara kami berpose-pose di berbagai sudut tempat dan lokasi yang dianggap menarik. Nah, di saat itulah saya melihat di kaca jendela salah satu studio foto, ada dua foto mantan presiden Indonesia dan keluarganya mejeng dengan manis, lengkap dengan pakaian tradisional Belanda. Selain foto pejabat tinggi tersebut, juga ada foto artis-artis lawas yang terkenal di masa mereka.
Perasaan takjub menyelimuti saya. Ternyata di senggang waktu mereka yang sibuk mengurus berbagai persoalan negara yang sangat kompleks, presiden kita masih sempat menyalurkan sisi humanis mereka. Petinggi negara-negara lain mana ada yang bisa begitu. Yah, presiden kita juga manusia. Ntar kalo dimintain bukti udah pernah ke Belanda kan repot juga tanpa ada fotonya.
Tapi terlepas dari justifikasi demikian, dengan kehadiran foto presiden-presiden RI di sana, setidaknya “budaya foto-foto” orang Indonesia officially approved alias disetujui secara resmi. Jadi gak perlu segan karena presiden-presiden terdahulu kita saja juga punya sisi narsisme yang sedikit berlebih.
Perihal aksi di depan kamera para petinggi negara kita di Belanda itu bisa dimaklumi sebagai sisi manusiawi dan dokumentasi perjalanan mereka. Namun gilanya di tanah air, aksi narsis pejabat mulai dari pangkat tinggi hingga rendahan sudah mengakar di mana-mana. Foto-foto mereka di spanduk dan baliho mengkampanyekan hal-hal yang tidak penting menyampah dan bertaburan dimana-mana. Ukuran foto mereka pun bervariasi, tergantung jabatan dan penghasilan. Makin kaya dan berkuasa, makin besar ukuran iklan mereka.
Bagi saya, bukan pose kaku dan wajah bantat membosankan mereka saja yang membuat enek, tapi konten iklan yang mereka sampaikan pun bikin sepet. Yang bikin keki tuh, foto-foto mereka palsu alias terlalu banyak sentuhan air brush dan photoshop untuk menutupi seluruh kerut dan bercak hitam muka asli mereka.
Para pejabat pria bergaya seperti model iklan jamu kuat, sedangkan yang perempuan bergaya bak model iklan susuk di majalah klenik. Wajah-wajah editan itu kadang dipajang sejajar dengan iklannya artis sekinclong Olla Ramlan yang emang dasar cantik dan segar. Ironis dan memalukan!
Hanya di Indonesia yang masyarakatnya dipaksa menatap wajah-wajah basi pejabat mereka. Jelas sekali kalau pejabat kita berharap dikenal dari wajah bukan dari kerja mereka. Foto-foto begitu tujuannya sekedar pencitraan untuk menutupi kinerja yang minim sekali. Pejabat kita semestinya sadar, penampakan di depan umum itu semestinya berbanding lurus dengan perbuatan. Sah-sah saja over expose, tapi harus disesuaikan dengan prestasi.
Dua kali ke Belanda dalam kurun waktu yang cukup lama, berkeliling ke seluruh kota dan beberapa negara Eropa sana, saya tidak pernah menjumpai baliho, poster, spanduk, ataupun billboard pejabat berisi seruan dan pesan masyarakat ini dan itu. Mungkin mereka sadar, kalau untuk kampanye layanan masyarakat akan lebih efektif menggunakan artis atau model profesional saja karena dari segi wajah dan penampilan, jauh lebih menarik dan enak dipandang mata. Lagian, figur publik sekaliber selebritas gampang menarik banyak massa karena punya faktor mempengaruhi yang tinggi.
Model Dadakan
Lupakan soal pencitraan papan iklan pejabat kita. Penggalan kisah lain dalam hal foto-foto dan hasrat tampil untuk umum ini menjadi lebih menarik ketika pada suatu ketika saya ditawari ikut “pemotretan”.
Suatu waktu, ketika hendak ke perpustakaan Utrecht University, saya melewati kerumunan sekelompok orang yang ada di ruang pameran di depan perpustakaan. Tiba-tiba saya dipanggil oleh orang yang tidak saya kenal. Tanpa banyak basa-basi dia mengenalkan dirinya dan apa yang sedang dia lakukan. Dia mengaku sebagai fotografer yang akan mengadakan pameran tentang wajah Belanda. Selanjutnya dia mengajak saya untuk ikut menjadi model foto yang akan dia pamerkan. Tanpa bayaran.
Tanpa tanya ini dan itu saya langsung iyakan tawaran sang fotografer. Kapan lagi foto saya bisa dipajang untuk keperluan pameran di luar negeri. Namun sekarang, kalo dipikir-pikir lagi saya agak naif juga sekedar mengiyakan saja tawaran tersebut. Soalnya habis difoto, diucapin terima kasih trus bubar deh.
Semestinya nih, saya harus lebih cerdas menanggapi ajakan sang fotografer yang sampai sekarang saya tidak ingat namanya itu. Beberapa hal yang seharusnya saya bicarakan dengan sang fotografer adalah, berkenalan lebih jauh, nanyain tujuan proyeknya, akan dipajang di mana saja foto-fotonya dan yang tidak kalah penting minta hasil cetakan fotonya.
Dua hari setelah “pemotretan” itu berlangsung, ketika saya kembali melewati hall perpustakaan kampus, foto saya dan foto-foto lainnya sudah dipamerkan. Saya bangga, ada wajah saya di antara foto-foto yang menjadi tontonan mahasiswa di sana. Sayang fotografernya sudah gak ada lagi di sana sehingga saya tidak bisa minta cetakan lain foto tersebut. Sebagai gantinya, saya cuma bisa memotret hasil foto yang sedang dipajang itu.
Ini nih foto saya yang menjadi “model“ internasional itu :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H