"ah, sagalanya masih seperti dulu", gultomnya dalam hati
Tiba-tiba Bisar terkejut mendengan suara marpaung yang sangat kuat.
"wah, suara guru singa!!", katanya
Dengan perasaan harahap-harahap cemas, diambilnya senjatanya, ternyata hanya ada ginting yang sitompul. Bisar menjadi hasibuan mencari-cari sebatang kayu untuk simatupang, jika singa rimbun menyerangnya. Disijabatnya kayu itu kuat-kuat, dengan perasaan harahap-harahap cemas. Tak berapa lama, sampailah bisar di pasaribu. Udara di pasaribu ini tak sesiregar kampungnya. Udaranya sangat panggabean, dan Bisar merasa seperti di sitanggang matahari yang terik. Disini Bisar bertemu dengan laenya, si tukang panjaitan dan udanya si tukang rumah pea. Meraka saling sijabat tangan. Rasanya sudah pangaribuan tahun Bisar tidak melihat mereka. Tapi uda dan laenya sudah tidak kenal dengan Bisar. dengan mulut yang simangunsong dan hati yang girsang diperkenalkanlah dirinya kembali pada lae dan udannya. Mereka bersijabat tangan dan mensitepu-tepu pundak Bisar.
"sudah silaen kau sekarang, seperti orang hutabarat sana kau bah!", kata udannya
"sudah napitupulu tahun rasanya kau tidak mengirimi ambarita kepada kami, sekali-sekali bersihaloho lah kau kepada kami!", kata laenya
Bisar hanya bisa bersiahahahahahaaan..
Inilah harianja pertamanya bertemu keluarganya di kampung tercinta, Hutagalungan. Disitoruskannya perjalanan menuju rumahnya yang sudah lama di sitanggangkannya. Sihitenya belum puas dan tohang jika belum bertemu dengan Inang Pangittubu dan Amang Parsinuan juga adik-adiknya yang masih perlu sihombingan darinya....
"MARSATTABI HAMI SIAN HAMU SUDE AKKARAJA NAMI..
A SUDE DO HAMU RAJA! ALAI NASOADONG ISTANANA... :-D"
(cerita ini adalah cerita yang saya karang bersama Alm. ayahanda ku tercinta pada tahun 2006. Pak A. Damanik. Sebuah apresiasiku pd mu ayah, dengan memposting cerita ini di Kompasiana. Lebih dan kurang saya minta maaf jika terdapat salah kata atau ke-tidakberkenan-an. Mauliate)